- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
![]() |
Photo by Just a Couple Photos from Pexels |
Kucing tidak pernah mati. Mereka menjadi
roh-roh penjaga yang menemani tuannya. Mereka mengitari rumah-rumah, jalan
setapak di halaman, bubungan rumah, menebar aromanya untuk menjaga yang
dicintai.
Ketika
mereka menyeberang ke dunia lain. Mereka tidak pernah mau raga indrawinya
ditemukan pemiliknya. Aku buktinya. Aku adalah kucing ke... entah yang
keberapa, yang aku tahu aku adalah cicit dari Mama Kucing. Nenek buyutku yang
sudah diadopsi oleh keluarga ini sejak si gadis masih berseragam putih-biru.
Si gadis sekarang sudah sering pulang malam, kadang
dia lupa bermain denganku, mangkok ku lebih sering diisi dengan makanan kering walau
air bening selalu siap sedia.
Ku endus betisnya saat tangannya sibuk dengan benda
warna-warni di kanvas putih, yang aku tahu dari benda itu aku bisa makan enak.
Ku harap tidak ada bau kucing lain menempel di tubuhnya. Dia tetap bergeming.
Ku sandarkan kepalaku ke kakinya yang dingin. Tak juga bergerak. Ah, ada celah
antara paha dan tangan, tempat itu pasti hangat. Happ, sekali loncat, kujadikan
pahanya menjadi tempat tidurku.
Aku berharap aku bisa mengatakan kepadanya. Ini hari
terakhirku. Belaian tangannya mengusap dari kepala sampai ke ekor, berulang
kali. Usapan saat dia sedang gelisah, ia tidak akan berkata apa-apa. Hanya akan
terus mengusap sampai ia lelah dan jatuh tertidur.
Mama Kucing pernah bilang, si gadis adalah manusia
yang diberkati Tuhan. Dari tangan kecilnya sesuatu yang ajaib bisa keluar,
seperti gambar-gambar yang terpasang di dinding kamar. Ada bentang alam, bunga
dan kebanyakan rupa leluhurku sebelumnya. Tatap matanya dan dia akan tahu apa yang
kamu mau maka, dari itu jangan lama-lama menatapnya bisa-bisa rahasia kita bisa
terbongkar, kata Mama Kucing.
Rahasia kucing yang seharusnya aku turunkan pada
anakku. Tapi, aku tidak mempunyai keturunan dan tidak punya saudara. Itulah masalah
terbesarku. Harus ada keturunan untuk meneruskan rahasia kami.
Oleh karena itu, aku akan melakukannya sendiri, malam
ini. Saat ia sedang dibuai mimpi. Dengan sangat perlahan, kulepas dekapannya
untuk berjalan ke bubungan rumah. Ada
satu cara untuk meneruskan rahasia itu. Walaupun aku dan keturunan ku tidak ada
di dunia ini.
Di
bubungan tengah, tempat kelelawar menumpang berkembang biak. Ada satu batu
berbentuk persegi lima berwarna abu-abu, Mama Kucing mengajarkanku cara
terakhir di menit-menit terakhir saat tidak ada kemungkinan menambah keturunan.
Cara ini hanya dipakai untuk keadaan terdesak, jangan pernah gunakan kalau
masih ada kemungkinan lain.
Ku
gosokkan badanku ke batu segi lima, ku putari sambil bersenandung lalu putari
lagi dan lagi sampai bubungan ini terasa melayang. Saat itulah, kulihat Mama
Kucing, Bunda, Tante Pirang , Kakak Hitam-Putih, Si Abu, Si Kuning, Belang
Tiga, Kakak Putih dan aku mengitari batu itu. Mataku tidak menangkap satu
kelelawar pun disekitar kami. Aku sudah menyeberang ke dunia selanjutnya.
“Tidak ada keturunan yang bisa menjaga rahasia kita,
Oren?” tanya Mama Kucing datar. Sebagai jawaban, aku menggelengkan kepala.
“Apa
boleh buat, kita tetap harus menjaga pemilik kita” ucapnya dengan desahan yang
panjang.
“Pergi
ke posisi kalian masing-masing! ” perintah Mama Kucing.
Kami membuat lingkaran lebih lebar menjangkau seluruh
atap rumah. Dengan mata yang bersinar dalam gelap, Mama Kucing memberi aba-aba.
Lalu, senandung kucing bergema di bubungan, di bawa keluar oleh udara malam
melingkupi rumah dari atas sampai bawah, ke sisi kanan dan kiri. Senandung yang
mengiris hati bagi yang mendengarnya.
Si gadis tetap terbuai di pulau mimpi. Di mimpinya,
dia berada di sebuah pulau yang sangat indah, rumahnya ada ditengah-tengah
pulau, ada kebun di bagian belakang seperti keinginannya selama ini. Dia
berkebun sayuran, menyiangi rumput liar yang berdesakan di antara tomat dan
cabe. Lalu dia memetik tomat, mentimun, pisang dan ada bunga matahari di pojok
kebunnya.
Saat tangannya memetik bunga matahari, muncul sesosok
laki-laki berparas tampan dengan rambut kekuningan. Ia tak mengenalnya tapi,
merasa sangat familiar.
Si laki-laki tersenyum pun si gadis ikut
tersenyum. Lalu, dia berjalan mendekati gadis, entah mengapa si gadis merasa
dia terlihat sangat lembut, ingin sekali tangannya membelai rambut kekuningan
itu.
Belum sempat tangannya meraih, si laki-laki memeluknya
dengan sangat hangat. Lalu mendaratkan ciuman kecil di pipi, tidak ada
tanda-tanda dia akan melepasnya. Si gadis tidak berontak, dia membiarkannya.
Saat aroma si gadis telah melingkupi tubuhnya, si laki-laki melepas dan menatap
mata si gadis. Mata yang selalu dilihat semenjak ia mengenal cinta.
“Hai”
“Hai”
“Maaf,
aku hanya bisa datang dalam keadaan seperti ini, ” si gadis masih tersenyum,
“aku ingin menjagamu selamanya tapi, aku tidak punya kekuatan untuk bisa hidup
selamanya,” si laki-laki mengambil nafas berat, “setelah aku pergi, aku tidak
bisa kembali tapi, aku akan tetap bersamamu, ingat senandung ini...” sebuah
senandung bermain di udara “seperti senandung yang dibawa angin ini, ingat, ini
adalah petunjuk, ikuti dia saat kamu merasa tersesat” si laki-laki kembali
memeluk si gadis.
Kali ini, tangan si gadis meraih puncak kepala si
laki-laki. Sentuhannya terasa sangat lembut, seperti bulu kucing, seperti si
Oren.
Saat si gadis membuka mata, ia berada di kamarnya.
Tangannya mencari-cari si Oren yang seharusnya tertidur dalam dekapannya. Ia
berlari keluar walau saat itu masih dini hari. Dia mencari di bawah kursi
teras, di balik pohon pisang, di belakang pot-pot bunga, di jalan setapak
tempat si Oren suka bermain menangkap kupu-kupu.Tapi, tidak ada.
Si gadis terisak lalu mengadu ke orangtuanya tapi,
walau sudah dicari seharian tetap tidak ketemu. Si Oren lenyap. Akhirnya, si
gadis terduduk di halaman belakang. Teringat akhir-akhir ini ia jarang bermain
dengan si Oren, harusnya dia melempar tikus mainan kesukaannya atau memberikan
daging ikan rebus bukan cuma makanan kering.
Senandung merdu bermain di udara. ‘Ingat senandung ini saat kamu tersesat’
Kepala si gadis terangkat, seseorang dengan rambut kekuningan muncul di
bayangan matanya.
“Si
Oren tidak pergi, ia selalu bersamaku, seperti mereka yang selalu mampir ke
dalam mimpiku” ucapnya seraya melihat lukisan-lukisan yang tergantung di
dinding.
Di samping tempat si gadis duduk, setelah beberapa jam berkutat dengan warna-warni cat, di barisan terakhir ada lukisan kucing berbulu oranye yang terlihat sangat lembut menatap dengan matanya yang bulat.
Si Oren.
Komentar
Posting Komentar