Langsung ke konten utama

Fakta Penting Dunia yang Mengubah Perspektif Kita

Puisi Chairil Anwar (1943)

Chairil Anwar

DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini

tuan hidup kembali


Dan bara kagum menjadi api


Di depan sekali tuan menanti

Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.

Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati.


MAJU

Ini barisan tak bergenderang berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu.


Sekali berarti

Sudah itu mati.


MAJU

Bagimu Negeri

Menyediakan api.


Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditinda


Sungguhpun dalam ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai.


Maju.

Serbu.

Serang.

Terjang.


Februari 1943


TAK SEPADAN

Aku kira:

Beginilah nanti jadinya

Kau kawin, beranak dan berbahagia

Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros.


Dikutuk sumpahi Eros

Aku merangkaki dinding buta

Tak satu juga pintu terbuka.

Jadi baik juga kita padami

Unggunan api ini

Karena kau tidak ‘kan apa apa

Aku terpanggang tinggal rangka.


Februari 1943


SIA-SIA*

Penghabisan kali itu kau datang

Membawa karangan kembang

Mawar merah dan melati putih:

Darah dan suci.

Kau tebarkan depanku

Serta pandang yang memastikan: untukmu.


Sudah itu kita sama termangu

Saling bertanya: Apakah ini?

Cinta? Keduanya tak mengerti.


Sehari itu kita bersama.

Tak hampir menghampiri.


Ah! Hatiku yang tak mau memberi

Mampus kau dikoyak koyak sepi.


SIA-SIA*

Penghabisan kali itu kau datang

Membawa kembang berkarang

Mawar merah dan melati putih

Darah dan Suci

Kau tebarkan depanku

Serta pandang yang memastikan: untukmu.


Lalu kita sama termangu

Saling bertanya: apakah ini?

Cinta? Kita berdua tak mengerti


Sehari kita bersama. Tak hampir menghampiri


Ah! Hatiku yang tak mau memberi

Mampus kau dikoyak koyak sepi.


Februari 1943


AJAKAN*

Ida

Menembus sudah caya

Udara tebal kabut

Kaca hitam lumut

Pecah pencar sekarang

Di ruang legah lapang

Mari ria lagi

Tujuh belas tahun kembali

Bersepeda sama gandengan

Kita jalani ini jalan


Ria bahgia

Tak acuh apa-apa

Gembira girang

Biar hujan datang

Kita mandi-basahkan diri

Tahu pasti sebentar kering lagi.


Februari 1943


SENDIRI

Hidupnya tambah sepi, tambah hampa

Malam apa lagi

Ia memekik ngeri

Dicekik kesunyian kamarnya


Ia membenci. Dirinya dari segala

Yang minta perempuan untuk kawannya

Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga

Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama

Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?

Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!


Februari 1943


PELARIAN

I

Tak tertahan lagi

remang miang sengketa di sini


Dalam lari

Dihempaskannya pintu keras tak berhingga.


Hancur-luluh sepi seketika

Dan paduan dua jiwa.


II

Dari kelam ke malam

Tertawa-meringis malam menerimanya

Ini batu baru tercampung dalam gelita

“Mau apa? Rayu dan pelupa,

Aku ada! Pilih saja!

Bujuk dibeli?

Atau sungai sunyi?

Mari! Mari!

Turut saja!”


Tak kuasa …terengkam

Ia dicengkam malam.


Februari 1943


SUARA MALAM

Dunia badai dan topan

Manusia mengingatkan “Kebakaran di Hutan”*

Jadi ke mana

Untuk damai dan reda?

Mati.

Barang kali ini diam kaku saja

dengan ketenangan selama bersatu

mengatasi suka dan duka

kekebalan terhadap debu dan nafsu.

Berbaring tak sedar

Seperti kapal pecah di dasar lautan

jemu dipukul ombak besar.

Atau ini.

Peleburan dalam Tiada

dan sekali akan menghadap cahaya.

……………………………………………………

Ya Allah! Badanku terbakar – segala samar.

Aku sudah melewati batas.

Kembali? Pintu tertutup dengan keras.


Februari 1943


AKU*

Kalau sampai waktuku

‘Ku mau tak seorang‘kan merayu

Tidak juga kau


Tak perlu sedu sedan itu


Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang


Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang


Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi


Maret 1943


SEMANGAT*

Kalau sampai waktuku

kutahu tak seorang ‘kan merayu

Tidak juga kau


Tak perlu sedu sedan itu!


Aku ini binatang jalang

Dari kumpulan terbuang


Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang


Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari


Hingga hilang pedih dan peri.


Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi.


Maret 1943


HUKUM

Saban sore ia lalu depan rumahku

Dalam baju tebal abu-abu


Seorang jerih memikul.

Banyak menangkis pukul.


Bungkuk jalannya – Lesu

Pucat mukanya – Lesu


Orang menyebut satu nama jaya

Mengingat kerjanya dan jasa


Melecut supaya terus ini padanya


Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga


Pekik di angkasa: Perwira muda

Pagi ini menyinar lain masa


Nanti, kau dinanti-dimengerti!


Maret 1943


TAMAN

Taman punya kita berdua

tak lebar luas, kecil saja

satu tak kehilangan lain dalamnya.

Bagi kau dan aku cukuplah

Taman kembangnya tak berpuluh warna

Padang rumputnya tak berbanding permadani

halus lembut dipijak kaki.

Bagi kita bukan halangan.

Karena

dalam taman punya berdua

Kau kembang, aku kumbang

aku kumbang, kau kembang.

Kecil, penuh surya taman kita

tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia


Maret 1943


LAGU BIASA

Di teras rumah makan kami kini berhadapan

Baru berkenalan. Cuma berpandangan

Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam


Masih saja berpandangan

Dalam lakon pertama

Orkes meningkah dengan “Carmen” pula.


Ia mengerling. Ia ketawa


Dan rumput kering terus menyala

Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi

Darahku terhenti berlari


Ketika orkes memulai “Ave Maria”

Kuseret ia ke sana.…


Maret 1943


KUPU MALAM DAN BINIKU

Sambil berselisih lalu

mengebu debu.


Kupercepat langkah. Tak noleh ke belakang

Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang


Barah ternganga


Melayang ingatan ke biniku

Lautan yang belum terduga

Biar lebih kami tujuh tahun bersatu


Barangkali tak setahuku

Ia menipuku.


Maret 1943


PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali

Dengan sepenuh hati


Aku masih tetap sendiri


Kutahu kau bukan yang dulu lagi

Bak kembang sari sudah terbagi


Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani


Kalau kau mau kuterima kau kembali

Untukku sendiri tapi


Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.


Maret 1943


KESABARAN

Aku tak bisa tidur

Orang ngomong, anjing nggonggong

Dunia jauh mengabur

Kelam mendinding batu

Dihantam suara bertalu-talu

Di sebelahnya api dan abu


Aku hendak berbicara

Suaraku hilang, tenaga terbang

Sudah! tidak jadi apa-apa!

Ini dunia enggan disapa, ambil perduli


Keras membeku air kali

Dan hidup bukan hidup lagi


Kuulangi yang dulu kembali

Sambil bertutup telinga, berpicing mata

Menunggu reda yang mesti tiba


Maret 1943


PERHITUNGAN

Banyak gores belum terputus saja

Satu rumah kecil putih dengan lampu merah muda caya


Langit bersih cerah dan purnama raya…

Sudah itu tempatku tak tentu di mana.


Sekilap pandangan serupa dua klewang bergeseran


Sudah itu berlepasan dengan sedikit heran

Hembus kau aku tak perduli, ke Bandung, ke Sukabumi…!?


Kini aku meringkih dalam malam sunyi.


16 Maret 1943


KENANGAN

untuk Karinah Moordjono


Kadang

Di antara jeriji itu itu saja

Mereksmi memberi warna

Benda usang dilupa

Ah! tercebar rasanya diri

Membubung tinggi atas kini

Sejenak

Saja. Halus rapuh ini jalinan kenang

Hancur hilang belum dipegang

Terhentak

Kembali di itu itu saja

Jiwa bertanya; Dari buah

Hidup kan banyakan jatuh ke tanah?

Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia


19 April 1943


RUMAHKU

Rumahku dari unggun-timbun sajak

Kaca jernih dari luar segala nampak


Kulari dari gedong lebar halaman

Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala

Di pagi terbang entah ke mana


Rumahku dari unggun-timbun sajak

Di sini aku berbini dan beranak


Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang

Aku tidak lagi meraih petang


Biar berleleran kata manis madu


Jika menagih yang satu.


27 April 1943


HAMPA*

kepada Sri


Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak.

Lurus kaku pohonan. Tak bergerak

Sampai ke puncak. Sepi memagut,

Tak satu kuasa melepas-renggut

Segala menanti. Menanti. Menanti.

Sepi.

Tambah ini menanti jadi mencekik

Memberat-mencekung punda

Sampai binasa segala. Belum apa-apa

Udara bertuba. Setan bertempik

Ini sepi terus ada. Dan menanti.


HAMPA*

kepada Sri yang selalu sangsi


Sepi di luar, sepi menekan-mendesak

Lurus-kaku pohonan. Tak bergerak

Sampai ke puncak

Sepi memagut

Tak suatu kuasa-berani melepas diri

Segala menanti. Menanti-menanti.

Sepi.

Dan ini menanti penghabisan mencekik

Memberat-mencengkung punda

Udara bertuba

Rontok-gugur segala. Setan bertempik

Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.


Maret 1943


KAWANKU DAN AKU*

Kami sama pejalan larut

Menembus kabut

Hujan mengucur badan

Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan


Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat


Siapa berkata-kata…?

Kawanku hanya rangka saja

Karena dera mengelucak tenaga


Dia bertanya j am berapa?


Sudah larut sekali

Hilang tenggelam segala makna Dan gerak tak punya arti.


KAWANKU DAN AKU*

kepada L.K. Bohang


Kami jalan sama. Sudah larut

Menembus kabut.

Hujan mengucur badan.


Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.


Darahku mengental-pekat. Aku tumpat-pedat.


Siapa berkata?


Kawanku hanya rangka saja

Karena dera mengelucak tenaga.


Dia bertanya jam berapa!


Sudah larut sekali

Hingga hilang segala makna

Dan gerak tak punya arti.


5 Juni 1943


BERCERAI

Kita musti bercerai

Sebelum kicau murai berderai.


Terlalu kita minta pada malam ini.


Benar belum puas serah-menyerah

Darah masih berbusah-busah.


Terlalu kita minta pada malam ini.


Kita musti bercerai

Biar surya ‘kan menembus oleh malam di perisai


Dua benua bakal bentur-membentur.

Merah kesumba jadi putih kapur.

Bagaimana?

Kalau IDA, mau turut mengabur

Tidak samudra caya tempatmu menghambur.


7 Juni 1943


AKU

Melangkahkan aku bukan tuak menggelegak

Cumbu buatan satu biduan

Kujauhi ahli agama serta lembing-katanya.


Aku hidup

Dalam hidup di mata tampak bergerak

Dengan cacar melebar, barah bernanah

Dan kadang satu senyum kukucup minum dalam dahaga.


8 Juni 1943


CERITA

kepada Darmawidjaya


Di pasar baru mereka

Lalu mengada-menggaya.


Mengikat sudah kesal

Tak tahu apa dibuat


Jiwa satu teman lucu

Dalam hidup, dalam tuju.


Gundul diselimuti tebal

Sama segala berbuat-buat.


Tapi kadang pula dapat

Ini renggang terus terapat.


9 Juni 1943


DI MESJID

Kuseru saja

Dia Sehingga datang juga


Kami pun bermuka muka.


Seterusnya Ia bernyala nyala dalam dada.

Segala daya memadamkannya


Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda


Ini ruang

Gelanggang kami berperang


Binasa membinasa

Satu menista lain gila.


29 Mei 1943


SELAMAT TINGGAL*

perempuan….


Aku berkaca

Ini muka penuh luka

Siapa punya?


Kudengar seru menderu

– dalam hatiku? –

Apa hanya angin lalu?


Lagu lain pula

Menggelepar tengah malam buta


Ah…!!


Segala menebal, segala mengental

Segala tak kukenal


Selamat tinggal…!!!


SELAMAT TINGGAL*

Aku berkaca

Bukan buat ke pesta


Ini muka penuh luka

Siapa punya?


Kudengar seru-menderu

– dalam hatiku? –

Apa hanya angin lalu?


Lagu lain pula

Menggelepar tengah malam buta


Ah…!!!


Segala menebal, segala mengental

Segala tak kukenal….


Selamat tinggal…!!!


12 Juli 1943


MULUTMU MENCUBIT DI MULUTKU*

Mulutmu mencubit di mulutku

Menggelegak benci sejenak itu

Mengapa merihmu tak kucekik pula

Ketika halus-perih kau meluka??


12 Juli 1943


DENDAM

Berdiri tersentak

Dari mimpi aku bengis dielak


Aku tegak

Bulan bersinar sedikit tak nampak


Tangan meraba ke bawah bantalku

Keris berkarat kugenggam di hulu


Bulan bersinar sedikit tak nampak


Aku mencari

Mendadak mati kuhendak berbekas di jari


Aku mencari

Diri tercerai dari hati


Bulan bersinar sedikit tak tampak


13 Juli 1943


MERDEKA

Aku mau bebas dari segala

Merdeka

Juga dari Ida


Pernah

Aku percaya pada sumpah dan cinta

Menjadi sumsum dan darah

Seharian kukunyah kumamah


Sedang meradang

Segala kurenggut

Ikut bayang


Tapi kini

Hidupku terlalu tenang

Selama tidak antara badai

Kalah menang


Ah! J iwa yang menggapai-gapai

Mengapa kalau beranjak dari sini

Kucoba dalam mati.


14 Juli 1943


KITA GUYAH LEMAH*

Kita guyah lemah

Sekali tetak tentu rebah

Segala erang dan jeritan

Kita pendam dalam keseharian


Mari tegak merentak

Diri sekeliling kita bentak

Ini malam purnama akan menembus awan.


22 Juli 1943


JANGAN KITA DI SINI BERHENTI*

Jangan kita di sini berhenti

Tuaknya tua, sedikit pula

Sedang kita mau berkendi-kendi

Terus, terus dulu…!!


Ke ruang di mana botol tuak banyak berbaris

Pelayannya kita dilayani gadis-gadis

O, bibir merah, selokan mati pertama

O, hidup, kau masih ketawa??


24 Juli 1943


1943

Racun berada di reguk pertama

Membusuk rabu terasa di dada

Tenggelam darah dalam nanah

Malam kelam membelam

Jalan kaku lurus.

Putus

Candu.

Tumbang

Tanganku menadah patah

Luluh

Terbenam

Hilang

Lumpuh.

Lahir

Tegak

Berderak

Rubuh

Runtuh

Mengaum.

Mengguruh

Menentang.

Menyerang

Kuning

Merah

Hitam

Kering

Tandas

Rata

Rata

Rata

Dunia

Kau

Aku

Terpaku.


1943


ISA

kepada nasrani sejati


Itu Tubuh

mengucur darah

mengucur darah


rubuh

patah


mendampar tanya: aku salah?


kulihat Tubuh mengucur darah

aku berkaca dalam darah


terbayang terang di mata

masa bertukar rupa ini segara


mengatup luka

aku bersuka


Itu Tubuh

mengucur darah

mengucur darah


12 November 1943


DOA

kepada pemeluk teguh


Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut namaMu


Biar susah sungguh mengingat

Kau penuh seluruh


cayaMu panas suci

tinggal kerdip lilin di kelam sunyi


Tuhanku


aku hilang bentuk

remuk


Tuhanku aku mengembara di negeri asing


Tuhanku

di pintuMu aku mengetuk

aku tidak bisa berpaling


13 November 1943


Sumber:

Buku “AKU INI BINATANG JALANG, Koleksi sajak 1942-1949 Chairil Anwar”, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Cetakan kedua puluh lima: Juni 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tempat Wisata di Surabaya Kota

 Tahun 2019 segera habis, masa liburan menanti para pekerja. Ibu pertiwi memilki banyak kota yang menarik untuk dikunjungi. Salah satunya adalah kota Surabaya yang terletak di Jawa Timur. Kota yang dikenal sebagai kota pahlawan ini juga menyimpan banyak tempat-tempat indah. Ada banyak tempat wisata di Surabaya kota. Wisatawan bisa memilih untuk berkreasi diluar ruangan, didalam ruangan, yang ramah untuk anak-anak dan lain sebagainya. Selain itu juga Surabaya memiliki kuliner yang sangat menggugah selera. Kota ini bisa dikatakan tempat wisata paket lengkap. Wisatawan bisa memilih untuk berwisata mempelajari sejarah, seni dan budaya, alam dan taman hiburan. Wisata Sejarah Sebagai kota yang menjadi saksi bisu perjuangan kemerdekaan tak heran jika ada banyak peninggalan bersejarah disini. Wisatawan bisa menjadikannya sebagai napak tilas untuk tidak melupakan sejarah kemerdekaan Indonesia. Ada banyak monumen, museum, tugu, patung dan bangunan bersejarah yang bisa didatangi.  ...

Saran bagi Introvert untuk Menguasai Perubahan Zaman

Photo by  Jake Ingle  on  Unsplash Apa yang ada dipikiran kamu jika seseorang disebut sebagai introvert? Apakah yang terngiang adalah si kutu buku dengan kacamatanya, seorang pendiam di sudut kelas atau malah kamu sendiri seorang introvert? Tidak masalah menjadi seorang introvert, karena yah memang itu bawaan dari lahir. Hadiah dari yang Maha Kuasa. Eh tapi, tunggu dulu. Kamu tahu apa artiya introvert? Jangan samakan dengan sosok pemalu. Iya, introvert memang pendiam. Tapi, diamnya dia karena sedang berpikir atau sedang mengumpulkan energi. Loh apa hubungannya? Jadi gini, kita semua tahu lawan dari introvert adalah ekstrovert. Si pendiam dan si aktif. Mudahnya, coba bayangkan kincir angin dan baterai. Menurut Sylvia Loehken , perbandingan menggunakan kiasan di atas menunjukkan perbedaan dengan lebih jelas. Sebuah kincir angin membutuhkan dorongan dari angin (eksternal) lalu kincirnya harus terlibat secara aktif agar terjadi perputaran yang dinamis. Se...

Secangkir Pikiran - Mencoba Bersyukur

Ada tujuh milliar penduduk di bumi. Terlalu banyak masalah yang disediakan, banyak skenario yang telah ada semenjak aku belum lahir. Usiaku sekarang sudah 26 tahun, masih mencari apa maksud hidupku? Untuk apa aku ada di dunia ini?   Di luar sana, jauh dari jangkauan hidupku yang termasuk nyaman. Ada banyak kesedihan. Anak terlantar, kemiskinan, rasisme, kerusakan alam, hilangnya nyawa tak bersalah, matinya para hewan karena rumahnya di ambil oleh yang orang yang tak merasa berdosa dan masih banyak lagi. Banyak sekali kesedihan, dan disini aku hanya mengasihani diri yang sebenarnya sangat beruntung.   Keberuntungan yang tidak kusyukuri. Ada rumah tempat kembali, keluarga yang selalu menyambut dengan suka cita, makan tiga kali sehari beserta camilan, tempat tidur yang nyaman, jam tidur yang panjang dan teman yang baik. Dan aku masih mengeluh tentang pekerjaan? Dangkal sekali pikiranku. Kenapa aku sangat serakah dengan hidup? Maaf...