Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2021

Tempat Wisata di Surabaya Kota

HURUF YANG HILANG

         Photo by  Suzy Hazelwood  from  Pexels       Salah satu hal yang paling tidak aku sukai adalah memperkenalkan diri. Di depan umum. Secara lisan. Semua memperhatikanku mengucap huruf per huruf, puluhan pasang mata memasati saat aku mengucapkan namaku. Detik namaku selesai diucap, aku langsung duduk memakukan pandanganku ke meja. Lalu suara bisik-bisik mulai terdengar. Kedua telapak tanganku saling menggenggam erat di bawah meja.  Salah satu hal, lagi, yang paling tidak aku sukai adalah membacakan teks secara lisan. Bising suara murid diredam oleh suara mistar yang dihentakkan ke meja. Ibu guru meminta semua untuk diam mendengarkan. Angin berkesiur pelan, saat aku hanya menatap buku. Mistar yang tadi di daratkan di meja guru, kini berada di atas mejaku. Mata bulat hitam berkacamata persegi sedang menungguku membacakan pelajaran sejarah. Kedua telapak tanganku saling menggenggam erat di bawah meja, kukatupkan bibir tapi, mistar itu tetap menunggu di sana. Suaraku bergetar saa

Puisi Chairil Anwar (1949) & Sajak Saduran

Chairil Anwar MIRAT MUDA, CHAIRIL MUDA di pegunungan 1943 Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah, Menatap lama ke dalam pandangnya coba memisah matanya menantang yang satu tajam dan jujur yang sebelah. Ketawa diadukannya giginya pada mulut Chairil; dan bertanya: Adakah, adakah kau selalu mesra dan aku bagimu indah? Mirat raba urut Chairil, raba dada Dan tahulah dia kini, bisa katakan dan tunjukkan dengan pasti di mana menghidup jiwa, menghembus nyawa Liang jiwa-nyawa saling berganti. Dia rapatkan Dirinya pada Chairil makin sehati; hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras, menuntut tinggi tidak setapak berjarak dengan mati. 1949 BUAT NYONYA N. Sudah terlampau puncak pada tahun yang lalu, dan kini dia turun ke rendahan datar. Tiba di puncak dan dia sungguh tidak tahu, Burung burung asing bermain keliling kepalanya dan buah buah hutan ganjil mencap warna pada gaun. Sepanjang jalan dia terkenang akan jadi satu Atas puncak tinggi sendiri berjubah ang

Puisi Chairil Anwar (1948)

Chairil Anwar PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945 Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu Aku sekarang api aku sekarang laut Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh 1948 SUDAH DULU LAGI* Sudah dulu lagi terjadi begini Jari tidak bakal teranjak dari petikan bedil Jangan tanya mengapa jari cari tempat di sini Aku tidak tahu tanggal serta alasan lagi Dan jangan tanya siapa akan menyiapkan liang penghabisan Yang akan terima pusaka: kedamaian antara runtuhan menara Sudah dulu lagi, sudah dulu lagi Jari tidak bakal teranjak dari petikan bedil. 1948 INA MIA Terbaring di rangkuman pagi – hari baru jadi – Ina Mia mencari hati impi, Teraba Ina Mia kulit harapan belaka Ina Mia menarik napas panjang di tepi jurang napsu yang sudah

Tunggulah, Sampai Aku Mengingatmu Kembali

  Photo by  KoolShooters  from  Pexels Siapa bilang cinta itu tak buta? memang benar, cinta itu buta. Rabun, abu-abu, hitam-putih seperti tidak ada penerangan. Buktinya? lihat saja, laki-laki paruh baya yang duduk disana. Cinta yang ia miliki buta. Bahkan sangat gila. Bagaimana tidak, ia rela kehilangan semua harta bahkan hampir seluruh anaknya hanya untuk satu orang. Tinggalah ia menunggu, menunggu cintanya kembali. Namanya Wak Bas. Tinggi semampai, kulit coklat, tubuh terbilang kurus namun berotot hasil olahraga saat masih muda. Orang bilang, dia sangat setia saking setianya ia rela menunggu berhari-hari hanya untuk satu orang. Hebatnya lagi, walau seperti itu ia tetap bekerja. Mencari nafkah agar bisa makan, katanya, biar ia tetap ganteng ketika melihat kembali orang yang ditunggunya. Wak Bas selalu tersenyum, sering kali ia menyapa duluan. Orang-orang tidak segan bercerita dengannya. Mendengar bagaimana ia akan memberikan kado terbaik dari hasil jerih payahnya. Matanya berbinar

Puisi Chairil Anwar (1947)

  Chairil Anwar SORGA* buat Basuki Resobowo Seperti ibu + nenekku juga tambah tujuh keturunan yang lalu aku minta pula supaya sampai di sorga yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu dan bertabur bidari beribu Tapi ada suara menimbang dalam diriku, nekat mencemooh: Bisakah kiranya berkering dari kuyup laut biru, gamitan dari tiap pelabuhan gimana? Lagi siapa bisa mengatakan pasti di situ memang memang ada bidari suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati? Malang, 25 Februari 1947 SAJAK BUAT BASUKI RESOBOWO* Adakah jauh perjalanan ini? Cuma selenggang! – Coba kalau bisa lebih! Lantas bagaimana? Pada daun gugur tanya sendiri, Dan sama lagu melembut jadi melodi! Apa tinggal jadi tanda mata? Lihat pada betina tidak lagi menengadah Atau bayu sayu, bintang menghilang! Lagi jalan ini berapa lama? Boleh seabad… aduh sekerdip saja! Perjalanan karna apa? Tanya rumah asal yang bisu! Keturunanku yang beku di situ! Ada yang menggamit? Ada yang kehilangan? Ah! jawab sendiri! A