- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
![]() |
Photo by KoolShooters from Pexels |
Siapa bilang cinta itu
tak buta? memang benar, cinta itu buta. Rabun, abu-abu, hitam-putih seperti
tidak ada penerangan. Buktinya? lihat saja, laki-laki paruh baya yang duduk
disana. Cinta yang ia miliki buta. Bahkan sangat gila. Bagaimana tidak, ia rela
kehilangan semua harta bahkan hampir seluruh anaknya hanya untuk satu orang.
Tinggalah ia menunggu, menunggu cintanya kembali.
Namanya Wak Bas. Tinggi
semampai, kulit coklat, tubuh terbilang kurus namun berotot hasil olahraga saat
masih muda. Orang bilang, dia sangat setia saking setianya ia rela menunggu
berhari-hari hanya untuk satu orang. Hebatnya lagi, walau seperti itu ia tetap
bekerja. Mencari nafkah agar bisa makan, katanya, biar ia tetap ganteng ketika
melihat kembali orang yang ditunggunya.
Wak Bas selalu
tersenyum, sering kali ia menyapa duluan. Orang-orang tidak segan bercerita
dengannya. Mendengar bagaimana ia akan memberikan kado terbaik dari hasil jerih
payahnya. Matanya berbinar ketika mendongeng tentang orang yang dicintainya.
Senyumnya selalu terjaga.
Setiap kali aku
melewatinya, dia selalu menatapku lamat-lamat. Aku hanya bisa membalasnya
dengan anggukan sopan dan senyum. Beberapa kali ingin aku dekati namun, aku
lebih ingin mendengarkan cerita orang tentangnya. Bukannya aku takut, walau
sering melihatnya ia tetap seperti orang asing.
Sebenarnya rumahku tak jauh dari tempat Wak Bas berada. Hanya butuh 10 menit berjalan kaki untuk sampai kesana. Bahkan pulang pergi aku bisa saja melewati tempat itu. Oleh karena itu, sering sekali aku mendengar cerita-cerita tetangga sekitar tentangnya.
Seperti kali ini, Wak Bas membuat sebuah buket bunga yang sangat
indah. Yang ia kumpulkan dari bunga-bunga liar yang tumbuh indah di
perkarangan. Dirangkainya pelan, dijalin satu persatu, sampai terbentuk buket
bunga penuh terisi oleh bunga kertas, bunga sepatu, bunga kaca piring, bunga
mawar, ilalang, ranting kecil dan bunga kamboja. Warna-warni bertumbukan.
Seperti sebelumnya, ia
berdiri dipinggir jalan. Menanti sang kekasih hati. Panas tak ia hiraukan, debu
tak menghalanginya. Matanya tertuju kepada satu titik di ujung jalan, berharap
bayang familiar mendekatinya. Lima-sepuluh orang, belum juga datang. Dia tetap
menjaga senyumnya.
Entah, aku orang keberapa yang melewati tempat itu. Mata kami bertemu, dan ia menatapku lamat-lamat. Sekali lagi, aku hanya mengangguk sopan dan berusaha tersenyum. Terus berjalan untuk kembali kerumah. Namun, ada rasa ingin melihatnya, apakah yang ditunggu akan datang. Aku ingin melihat siapa sebenarnya kekasih hati yang sangat dicintainya itu.
Penasaran. Diam-diam, aku mengamatinya. Setiap orang
lewat aku sok mencari sesuatu, kemudian jika kepergok kontak mata aku cuma
tersenyum. Sayang, sampai menjelang malam orang yang ditunggunya tidak jua
datang.
Aku memiliki orangtua. Sama seperti Wak Bas yang berharap bisa bertemu sekali lagi. Aku juga sangat berharap, orangtuaku bisa kembali kerumah. Salah satunya. Sebab yang satu telah mendapatkan gelar almarhumah. Semenjak kepergian Ibu, kami tiga bersaudara gantian menjaga Ayah.
Dari semua cerita cinta, cuma cerita cinta mereka yang
membuatku merinding. Bagaimana tidak, Ayah rela kehilangan semua hartanya
termasuk melupakan kami tiga buah hatinya, demi Ibu.
Sebulan setelah Ibu meninggal, Ayah selalu mencari ibu. “Mana Ibu nak? kok nggak masak sarapan?”ujarnya suatu pagi. Padahal saat itu, sarapan sudah terhidang. ”Ini bukan masakan ibumu? ibu kalau kasih sarapan pasti kopi item sama gorengan…” jawabnya ketika melihat hidangan.
Aku hanya
menyuruhnya makan, biar sehat biar kalau ketemu ibu lagi Ayah tetap ganteng,
candaku. Esoknya, Ayah berkata lain, “Nak, tadi ibumu pergi kepasarkan? wah
pasti dia pulang bawa gethuk kesukaan Ayah?”. Aku hanya tersenyum lalu
diam-diam keluar rumah membeli gethuk di pasar. Tidak tega rasanya memberi tahu
Ayah kalau Ibu sudah berpulang ke rumah ‘aslinya’.
Tiga pekan setelahnya, Kakak mengabarkan hal
yang mengkhawatirkan. “Ayah nyari ibu terus dirumah, nanyain ibu kemana, kenapa
nggak ikut main kerumah mas, terus kemarin Ayah keluar katanya mau cari
pacarnya, bahkan pas disuruh pulang Ayah nanya mas siapa? anak siapa? kenapa
berani-berani menyuruhnya pulang? Mas bingung….” panjang lebar Masku bercerita.
Ternyata Ayah semakin parah, ia tidak hanya lupa kalau Ibu telah berpulang.
Ayah lupa jika telah dikaruniai tiga buah hati dari istri tercinta.
Beberapa bulan berlalu, semua terasa aman karena Ayah selalu berada dalam pengawasan. Namun, sore itu aku mendapat telpon mendadak. Ayah pergi dari rumah. Tanpa menunggu waktu, kami meninggalkan pekerjaan. Memburu di segala arah, mencari Ayah sampai ketemu.
Peluh keringat sudah membasahi seluruh badan. Tidak satupun dari kami menemukan
Ayah. Menit berganti jam, hari berganti minggu, sampai memasuki bulan ketiga.
Tidak ada tanda-tanda Ayah dikota yang sama. Kami berdoa, bertawakal dan
berikhtiar. Sekarang, hanya Tuhan yang bisa menjaganya.
Aku mendatangi Ibu di hari ulang tahunnya. Pagi-pagi aku bersiap untuk naik bus ke makam Ibu di desa. Ibu meminta untuk dimakamkan di tanah kelahirannya sekaligus tempat Ibu pertama kali bertemu Ayah. Tidak ada yang membuatku sangat sedih kecuali orangtua yang tak tahu kemana rimbanya.
Aku mengadu kepada Ibu, mencurahkan ketakutan dan kesedihan. Saat itulah, aku melihatnya membersihkan makam-makam orang. Mencabuti rumput liar lalu menaburi bunga ke makam yang mungkin tidak dihiraukan oleh keluarganya. Ia kemudian mendekat dengan botol air dan kumpulan bunga di kresek.
Menyapa dengan senyum sambil mengulurkan botol air dan bunga.
Aku mengambilnya ragu. Sejak saat itu ia menatapku lamat-lamat. Orang-orang
mengenalnya sebagai Wak Bas. Aku mengenalnya sebagai Ayah.
Komentar
Posting Komentar