- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Photo by Suzy Hazelwood from Pexels
Salah satu hal yang paling tidak aku sukai adalah memperkenalkan diri. Di depan umum. Secara lisan. Semua memperhatikanku mengucap huruf per huruf, puluhan pasang mata memasati saat aku mengucapkan namaku. Detik namaku selesai diucap, aku langsung duduk memakukan pandanganku ke meja. Lalu suara bisik-bisik mulai terdengar. Kedua telapak tanganku saling menggenggam erat di bawah meja.
Salah satu hal, lagi, yang paling tidak aku sukai adalah membacakan teks secara lisan. Bising suara murid diredam oleh suara mistar yang dihentakkan ke meja. Ibu guru meminta semua untuk diam mendengarkan. Angin berkesiur pelan, saat aku hanya menatap buku. Mistar yang tadi di daratkan di meja guru, kini berada di atas mejaku. Mata bulat hitam berkacamata persegi sedang menungguku membacakan pelajaran sejarah.
Kedua telapak tanganku saling menggenggam erat di bawah meja, kukatupkan bibir tapi, mistar itu tetap menunggu di sana. Suaraku bergetar saat membaca paragraf pertama, makin kueratkan genggaman tanganku. Suaraku bagai piringan pecah, tidak menyatu, lalu piringan itu dilempar sejauh mungkin, suaraku makin mengecil dan tenggelam di antara celotehan murid lain yang bosan mendengar bacaanku. Kuselesaikan bacaan dengan si mata bulat hitam berkacamata terpaku menatapku.
Ketika usiaku bertambah, menjadi dewasa atau tua. Aku tidak bisa menghilangkan tanggung jawab untuk mencari nafkah walau pun aku seorang perempuan. Sekarang semua serba mahal, terlebih lagi karena keluargaku mempunyai hutang yang sangat banyak. Sudah cukup menjadi alasan agar aku harus bisa menghasilkan uang.
“Nama mbak Asti?” ulangnya sekali lagi, seorang pengantar paket yang sering datang ke kantorku. Lebih tepatnya, sebuah rumah yang dijadikan tempat bimbingan belajar. Dia sudah sering datang kesini untuk mengantar paket, karena hampir semua rekan kerjaku adalah anak-anak 90-an yang sangat familiar dengan aplikasi digital. Maka, tidak heran kalau setiap jam ada saja yang datang untuk mengantarkan makanan, paket belanja online atau titipan barang.
Aku hanya tersenyum lalu menandatangani tanda terimanya dengan inisial R. Lalu kembali masuk meletakkan paket di sudut ruangan. Sekarang aku bekerja di bimbingan belajar khusus anak kuliah yang berkaitan dengan teknologi. Mengambil jurusan teknologi sebenarnya susah-susah gampang. Gampang karena referensi dan sumber belajar banyak tersedia di internet. Susah karena harus rajin melatih kemampuan teknis seperti pemrograman dan desain. Kami menengahi itu agar mereka bisa cepat menyerap ilmu.
Meja kerjaku berada di ruangan paling depan menghadap jendela, yah pekerjaan utamaku di bagian pendaftaran. Tidak banyak berbicara karena ada satu meja lagi di sebelahku. Diisi oleh teman baikku semasa kuliah, Mita. Setelah dua tahun aku bekerja di sini, Mita ikut menyusul karena dia belum mendapatkan pekerjaan. Dia menjadi bagian customer service rangkap pengajar, yang mengurus segala rupa orang yang penasaran dengan layanan bimbingan belajar yang diberikan.
Aku ingat saat di bangku kuliah, kami dibagi beberapa kelompok untuk mempresentasikan hasil yang telah kami dapatkan dari aplikasi sederhana yang dibangun. Seperti biasa, di ujung persentasi ada diskusi kelompok. Dan aku hanya duduk di kursi terjauh. Suaraku seakan ditelan lubang hitam, keberanian ku menguap bagai es mencair di musim panas. Tanganku berkutat di kertas, mencatat apa yang teman lain bicarakan. Namun, pikiranku kosong, mulutku terkunci berharap dosen tidak menyadari ada satu mahasiswanya yang berusaha agar tidak dilihat.
“Sudah lihat postingan tech academy? mereka ngadain bootcamp pemrograman sama UI/UX, mau ikut?” Mita membuyarkan lamunanku, sambil berbicara dia menyendokkan mi ayam ke mulutnya.
“Setelah ikut bootcamp, kita bisa disalurin ke perusahaan teknologi yang bagus,” dia mengucap satu aplikasi yang sudah mendominasi transportasi di Indonesia, “aku yakin kita bisa, apalagi kamu sudah terbiasa dengan coding, kamu kan lebih pintar dari aku, saat kuliah diantara kita yang paling ngerti pelajaran itu kamu!” dia berceloteh di sela-sela mengunyah bakso mini.
Benar, kami dulu mempunyai impian untuk bekerja di perusahaan teknologi yang bergengsi, membangun aplikasi untuk membantu banyak orang.
“Kayaknya ini bulan terakhir aku bekerja di sini…” tanganku berhenti menyendokkan bakso ke mulut “besok aku akan bilang ke kak Jo” kutatap mata Mita, mencari keseriusan di ucapannya.
Aku senang Mita menemukan keberanian untuk merantau, menggapai mimpinya. Dengan kepribadiannya yang ceria dan supel, dia juga perempuan yang cerdas, aku yakin dia akan berhasil di ibukota.
Setelah seharian bekerja, pulang ke rumah menjadi bagian yang sangat menyenangkan dan kamar adalah penyelamatku. Di kamar aku bisa memanjakan diri dan bermain sepuasku. Kurobohkan badan di atas kasur menatap langit-langit kamar yang warnanya menjadi putih kekuningan.
Sekarang, Mita sedang mengejar mimpinya. Apa aku akan tetap di kamar yang sama sampai mati? apa hidupku memang hanya seperti ini? aku ingin merasakan alam sesungguhnya, menggapai mimpi-mimpiku dulu. Melihat dunia, merasakan budaya baru, mencicipi makanan yang berbeda, menginjak tanah yang berbeda dan… berhenti mengkhayal.
Suatu malam, saat usiaku masih remaja, ayah, ibu dan aku sedang menonton televisi. Saat itu om dan tante baru pulang dari rumah. Tadi mereka sempat mengobrol bertanya tentang sekolah. Setelah mereka pulang kami berkumpul di ruang keluarga kembali.
“Dek, coba ngomong R nya dari tenggorokan, macam ngomong Arrr!” ayah mempraktekan pengucapan R pakai gaya bahasa Inggris.
“Alrgh!” ucapku mengikuti tapi, yang keluar dari mulutku macam R tak bernyawa. Ibu hanya memperhatikan dan memberi kode ke ayah untuk berhenti. Saat ayah dan ibu fokus menonton televisi, diam-diam ku seka air mata yang mengintip untuk keluar.
Bukannya aku tidak mau mengucap dengan jelas, aku malah sangat mau tapi, aku tidak bisa. Tadi, disaat semua orang bercakap-cakap, aku hanya memperhatikan. Aku menjawab pertanyaan yang diberikan tapi tak mau ikut dalam obrolan. Setiap aku mengucap kalimat, akan ada yang bertanya lagi apa yang aku ucapkan. Selalu mengulang kalimat.
Parahnya, sepupu ku pernah memintaku mengucap kata beras, iya BERAS. Tapi, yang keluar dari mulutku adalah BEYAS. Dan dia tertawa, karena lucu atau lebih tepatnya mengolok. Tanteku muncul dari belakang memintanya untuk berhenti, tidak boleh seperti itu katanya dan aku hanya melihatnya dengan tatapan nanar.
Apa yang bisa aku lakukan? beginilah Tuhan memberiku keadaan. Ada huruf yang hilang dari pengucapanku bahkan aku kesal kenapa orangtuaku harus memberi nama dengan huruf depan R.
“Siapa nama mbaknya untuk di tanda terima?” tanya pengantar paket di kantor siang tadi.
“Resti” jawabku datar.
“Mbak Asti ya? silahkan tanda tangan disini!” aku mengambil tanda terimanya dan menandatangani dengan inisial huruf R. Aku tidak suka memperkenalkan diri, aku sudah berucap Resti tapi yang mereka dengar adalah Asti atau Lesti. Selalu seperti itu.
Dalam setiap perkumpulan, aku selalu diam, meminimalisir membuka mulut dan jangan pernah jadi perhatian. Aku tidak suka suaraku saat berbicara atau mengulang kalimat atau mendengar namaku yang berbeda. Belum lagi, mereka berbisik-bisik saat aku presentasi di depan kelas. Seakan aku adalah alien yang salah masuk ruang galaksi.
Pernah juga saat aku masih kecil, mama menyuruhku meminta garam di rumah tante sebelah saat sedang asyik menonton TV. Lalu remot TV kuhentakkan ke sofa dan berjalan bagai kura-kura. Ketika di ambang teras untuk pulang, tante ku bertanya lagi yang entah keberapa kali, “siang ini makan apa?”
“Makan pindang daging” jawabku, sama seperti jawabanku sebelumnya. Dua tante ku tertawa, “tuh kan, masih sama jawabannya” mereka tertawa seakan ada yang lucu dari jawabanku, aku mengerenyit bingung. Namun, mengingat film kartun kesukaanku akan segera habis maka langsung kuputar badan pulang ke rumah.
Setelah aku bisa memahami pesan tersirat dari mimik wajah, aku sadar, ada yang salah dari pengucapanku. Saat itu aku mendengar aku bilang, “makan pindang daging” tapi, yang mereka dengar adalah “makan pindang anjing”.
Karena itulah aku benci memperkenalkan diri atau membaca teks secara lisan. Kata-kata yang aku ucapkan seperti dipelintir saat keluar dari mulutku. Seakan ada huruf yang tidak bisa keluar dengan tepat.
Setelah dewasa dan aku harus bisa menghasilkan uang, aku memberanikan diri untuk melamar pekerjaan di tempat bimbingan belajar. Aku beruntung karena Kak Jo menerimaku untuk bekerja disini. Awalnya, aku bekerja hanya menerima pendaftaran lalu diberi mandat membuat program atau web kecil-kecilan. Bekerja dengan laptop bukan membujuk orang untuk mengambil layanan bimbingan belajar kami.
Aku tidak bisa menjadi customer service karena saat tegang, aku memuntahkan semua kata-kata, seperti basoka yang terburu-buru dikeluarkan untuk membunuh musuh tapi tidak tepat sasaran.
Langit-langit kamar menggoreskan pertanyaan, apa kamu akan terus hidup dengan semua ketidakpercayaan diri ini? tetap diam saat kamu harus berbicara, tetap tak bersuara saat kamu harus berpendapat?
Linangan air mata menuruni pipi, menetes ke sprei putih. Titik-titiknya makin deras, titik-titik yang tidak pernah mengering. Karena titik-titik itu selalu ada di hati. Titik saat ditertawakan dan diperolok karena cara bicara yang berbeda.
“Aku juga ingin kayak Mita, bisa dekat dengan yang lain, bercerita sesuka hati, berbicara dengan jelas …” kubenamkan wajah ke bantal, supaya isak tangisku tidak terdengar oleh orangtuaku. Sampai damainya malam menarikku untuk beristirahat sejenak.
Cuaca cerah, langit biru, angin menderu saat aku dibonceng oleh ayahku untuk diantar ke kantor. Selalu jalan yang sama, jalan pintas untuk memotong kemacetan. Setiap hari, aku selalu melewati pemakaman umum, tempat terakhir untuk hampir seluruh keluargaku dan warga kampung yang aku kenal. Ah, mati. Mungkin lebih baik kalau aku tidak pernah ada di dunia ini.
Suara kendaraan dan keramaian menghilang dari panca inderaku, sejenak aku bermain di taman pikiran. Berlompatan di lembutnya awan, berlari di bawah hangatnya sinar matahari, menjejakkan kaki di padang rumput. Tertawa bersama, saling memercikkan air di kolam.
Langit biru, angin lembut menyelubungiku membawaku kembali untuk mengaktifkan panca indera. Tepat saat ayahku berhenti di depan rumah kantor tempatku bekerja. Setelah salam ayah menghilang di telan jalan raya. Seperti biasa, aku yang pertama datang dan mempersiapkan semuanya untuk bekerja.
Layar laptop menunjukkan jam 09:12, saat aku asyik menjelajah internet dan youtube. Mencari referensi coding untuk programku yang masih error. Ku gulirkan mouse naik turun, mencari jawaban yang tepat. Sampai mataku tertuju pada video berjudul Terapi Cadel, Belajar Artikulasi dan Intonasi.
Langit nan biru di luar jendela, angin sepoi yang meniup pepohonan, rumput yang bergoyang di taman depan. Lalu ku tatap meja Mita yang masih kosong, tergurat seutas senyum. Aku akan menyusulmu ke ibukota, teman.
Komentar
Posting Komentar