- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
![]() |
Photo by Rachel Claire from Pexels |
Duhai hati yang tak tahu kemana arahnya
Duhai otak yang tidak bisa membaca perasaan
Duhai manusia yang takut menabrak dunia
Ikuti air mata mu
Ikuti ketika hatimu mengembang
Jangan menutup kemungkinan, lalu bertanya
Jangan berada dalam gelap ketika cahaya menerangi
Duhai manusia yang takut mati, sampai kapan
Duhai manusia yang takut hidup, sampai kapan
Mulai dari sekarang
Aku mencari tanya untuk menemukan jawaban. Melihat langit untuk menyibak warna-warni di birunya kanvas. Menatap ke dalamnya, mendongak ke atas mengharap dijatuhkan bahagia.
Diterpa angin, mengirimkan rasa tanpa asa. Selalu mencari untuk mendapatkan jawaban namun tetap diam, mungkin aku memang bodoh. Atau penakut.
Aku melihat dari sini, atap gedung bertingkat, dunia ini bahagia tapi sedih tapi bahagia. Mereka bisa tertawa namun ditunggui sengsara. Banyak yang tersenyum tapi menangis. Aneh.
Tapi memang seperti itukan? Coba lihat, negeri ini seberapa banyak yang dibawah rata-rata hidup sejahtera tapi seberapa banyak yang masih bisa tertawa.
Atau mataku yang tertutup, sebenarnya banyak yang menangis namun melapisinya. Biar orang-orang hanya bisa melihatnya tersenyum. Dunia ini, seberapa banyak luka diatasnya? Negeri di Bumi Tengah yang selalu berderai air mata dan di bombardir aliran darah.
Negeri di Bumi Barat yang dipenuhi oleh manusia linglung penuh kekayaan. Negeri di Bumi Timur yang selalu ramai dengan manusia yang suka diadu domba. Dimana letaknya bahagia?
Aku disini mencari jawaban untuk berhenti bertanya. Namun, mataku selalu diisi pemandangan penuh tanda tanya. Kenapa? Ada temanku yang tidak menemukan bahagia di keluarganya yang harmonis.
Ada juga yang selalu bersedih dengan keluarga yang mencukupi. Bahkan ada, si kembar yang perang dingin berharap terlahir sendiri padahal di sebelahnya ada anak yang berharap memiliki saudara walau hanya untuk bertengkar setiap hari.
Ingin sekali untuk berhenti bertanya. Namun, dunia selalu memberikan pertanyaan. Membuatku terus memikirkannya. Menjadikanku manusia malam, menghabiskan gelap dengan mata tak terpejam. Juga, menjadikan otakku riuh sehingga mulutku terkunci.
Bahkan kadang aku ingin mereset otakku. Kalau bisa, kukeluarkan lalu kucuci dengan sabun. Kubersihkan dari gulma-gulma kotor kemudian menyikatnya dengan kuat agar kepalaku kembali enteng. Supaya tidak ada pemberat-pemberat tanpa raga.
Disini di atap pencakar langit, aku melihat banyak yang menangis namun mereka bahagia. Dunia, apa kabarnya? Dunia ini dilingkupi kebahagiaan namun dilapisi kesedihan. Sebagian boleh tersenyum, sebagian lagi memilih tertawa dan lainnya memilih mengerucutkan bibir.
Aku harus berada di pilihan mana. Tidak bisa tersenyum atau mengerucutkan bibir bahkan tidak tertawa. Dimana aku bisa menemukannya?
Ratusan hembusan angin membawa rasa yang sama. Berlalu seperti air terus mengalir dan aku terus bertanya. Kapan aku berhenti bertanya? Melihat dunia dengan bunga dan melihatnya dengan dentuman.
Disini, aku duduk menatap para manusia dengan banyak rupa dan banyak warna. Tapi, aku hanya melihat satu warna.
Seperti kerikil-kerikil di sungai yang mengalir, aku ikut terbawa arus. Esok-esok bisa saja aku menjadi manusia pada umumnya, lalu pelan-pelan berhenti bertanya.
Sampai akhirnya, aku benar-benar tidak peduli lagi dengan dunia. Berhenti bertanya, ‘apa kabar, dunia?’.
Sebelum itu. Izinkan aku bertanya sekali lagi. Duhai Tuhan, aku takut mati. Tapi, aku juga takut hidup. Duhai yang Maha Kuasa, untuk apa aku ada di dunia ini?
Komentar
Posting Komentar