- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
"Rain is Mine! | Explored" by VinothChandar is licensed under CC BY 2.0
Manusia membingungkan. Saat aku
turunkan sebagian diriku untuk memenuhi kebutuhan bumi, mereka mencela. Saat
aku menahan sebagian diriku, mereka meratap. Manusia memang aneh.
Padahal
sudah tugasku untuk turun ke bumi jika jaring-jaring awan tidak bisa lagi
menahan beban. Lalu aku akan meresap ke bumi atau mengaliri celah-celah
bebatuan, tanah dan sungai-rawa yang seharusnya menjadi rumahku.
Dan
Sang Pemilik Alam yang mengajarkanku untuk turun ke daerah yang lebih rendah.
Bukan mauku untuk terus berkeliaran tak tentu arah. Justru aku mengikuti arah,
ke daerah yang lebih rendah. Bumi yang bertasbih bersamaku beserta isi-isinya
mengamini hal yang sama.
Aku
tidak tahu, kenapa tanah, bebatuan dan potongan kayu ikut-ikutan saat aku
mengalir ke tempat rendah. Padahal bebatuan dan tanah harusnya tetap di
tempatnya. Seperti dulu, seperti saat manusia lebih ramah kepada bumi. Saat
bumi belum sesakit sekarang.
Ah,
bebicara tentang bumi. Rumah bagi segala mahluk dan mungkin aku harus berbangga
karena aku adalah penghuni terbanyak di sini. Penghuni yang terkandung di laut,
sungai, di kedalaman tanah, bahkan di diri manusia. Lalu, kenapa mereka
mengumpat saat aku terjun bebas menemui langsung di jalanan rumah mereka?
Bumi
yang kukenal sekarang berbeda dari bumi yang kukenal dahulu. Saat aku mengaliri
tanah-tanahnya yang gembur akan ada akar-akar kuat menjalin satu sama lain
mengikat tanah. Aku akan bersuka cita saat turun ke sungai lalu meresap ke
akar-akar tanaman lalu menyehatkan batang, menumbuhkan tunas, membuat bunga
bermekaran dan buah-buah menjadi ranum. Dari sebuah biji pecah menjadi sebatang
pohon kecil, satu-satu mereka membentuk simfoni alam yang indah.
Aku
juga suka saat bertemu teman-temanku yang terkumpul di lautan. Setetes kami tak
berarti tapi, kalau kami berkumpul maka tak ada yang bisa mengalahkan. Di
lautan aku bertemu semua mahluk dari yang familiar dengan manusia sampai yang
menutup diri sehingga hanya menjadi legenda.
Oh,
manusia juga sering kutemui di laut saat mereka membelah luasnya biru di atas
bokong besi hitam. Juga saat di pantai, aku akan menemani mereka bercanda tawa
dan aku adalah sumber utama keceriaan mereka. Tidak ada yang menggerutu apalagi
mencela.
Namun,
sekarang saat aku bersuka cita menemui mereka setelah berbulan-berbulan aku
tertahan di jaring awan. Setelah aku mengumpulkan sedikit demi sedikit, setiap
hari untuk bisa segera membuat mereka tertawa. Aku harus menerima, kalau
kehadiranku tidak diharapkan.
Kenapa?
apa yang salah? mungkin karena teman karibku sudah jarang ku temui, dialah yang
paling sering membuatku berguna. Aku membantu membuat kaki-kakinya kuat
menghujam tanah, saling menjalin mengkokohkan perbukitan dan menyirami manusia
dengan udara yang bersih.
Teman
karibku itu hanya bisa kutemui di hutan-hutan yang tak terjamah manusia. Hutan
yang kulihat sekarang hanya secuil dibandingkan saat mereka masih jaya. Setiap
tahun semakin sulit aku menemuinya. Aku harus turun di kawasan tertentu .
Jangan
ditanya di tempat-tempat manusia berada. Beruntung jika aku menemui satu dua
kaki-kaki kuat itu. Jika tidak, aku hanya akan ditemani dengan kaki-kaki lembut
yang hanya menembus tanah paling dalam dua puluh sentimeter.
Kemarin,
aku menjelajah sampai ke tempat-tempat jauh yang jarang kudatangi. Aku melihat
bokong besi lagi tapi yang ini lebih kecil dan jumlahnya lebih banyak. Juga,
aku memasuki rumahnya manusia, sebagian besar dan lebih banyak yang kecil.
Kenapa manusia hidupnya terkotak-kotak, tidak bisakah seperti aku selalu
mengalir kemana pun?
Di
sisi bumi yang lain, dimana aku turun ke daerah yang lebih rendah bersama
bebatuan, tanah basah, pohon dan sejumlah kecil tanaman berkaki lembut. Aku
melihat manusia-manusia berada bersamaku di celah-celah tanah dan
bebatuan. Mereka memanggil Sang Pemilik
Alam lalu tak bergerak lagi. Kenapa mereka mengikutiku sampai jauh ke dalam
sini?
Bumi
yang kusayang sering merasa kesakitan. Dikeruk sampai hampir ke jantungnya,
dibabat sampai sebagian besar asap menutupi jendela bumi membuat dia
tersengal-sengal, disumpal berjuta-juta sampah yang tak bisa dia cerna,
dipanggang dengan api yang tak kenal lelah dan bumi selalu menjerit kesakitan.
Jeritan yang tak didengar, jeritan yang tak dihiraukan manusia.
Aku
hanya menemani bumi sesuai porsiku, turun ke daerah yang rendah. Bersamaan dengan itu, tanpa sengaja aku
membawa tanah, bebatuan dan pepohonan berkaki lembut. Menemui manusia yang
sedang bercengkerama di bawah sana, di peraduannya.
Kali
keberapa, aku menemui manusia dengan membawa yang tak harus kubawa dan tak harus
berkeliaran di jalanan. Tapi, aku hanya menuruti kodrat.
Manusia
memang aneh, mereka yang membuatku berkeliaran di jalanan bukan di sungai atau
rawa, rumahku di bumi yang makin lama makin jarang kutemui. Tapi, mereka
menyalahkanku dan menuduhku malapetaka. Sedangkan mereka yang mengunduli teman
karibku, menghilangkannya dari permukaan bumi. Digantikan dengan patok besi dan
semen yang sama sekali tak bisa membuatku berguna.
Bumi,
apa yang harus aku lakukan agar manusia mendengar jeritanmu. Haruskah aku
berkeliaran lebih jauh lagi? atau terus menahan diriku di jaring-jaring awan?
Komentar
Posting Komentar