Langsung ke konten utama

Fakta Penting Dunia yang Mengubah Perspektif Kita

GANTI HIDUP

           

 by Giuseppe Milo (www.pixael.com) is licensed under CC BY 2.0


             Bulan menggantung di angkasa memancarkan warna keemasan, melingkupi malam itu dengan cahaya lembutnya. Bulan menjadi saksi semua kejadian di bumi. Bulan menyaksikan saat bumi didiami manusia terbaik yang pernah ada di dunia ini. Bulan juga melihat bagaimana kerusakan-kerusakan yang disembunyikan di dalam kegelapan.

            Jika dia bisa, dia ingin berhenti menjadi bulan. Dia memang bisa melihat birunya air di samudra-samudra yang tak pernah dijelajah, gunung-gunung berupa warna dan bentuk, kota-kota yang diisi dengan gedung-gedung yang menembus langit atau desa kecil diujung pulau yang diisi rumah-rumah kayu, iya dia bisa melihat semuanya.

            Namun, dia juga ingin berhenti melihat darah-darah yang tertumpah lalu meresap ke bumi. Membuat bumi terus merasa kesakitan. Dia melihat bumi terus menerus digerus, dilubangi, memaksa tanah-tanah menyembunyikan tulang belulang

            Dia menyukai saat manusia-manusia di bawah sana menikmati pendaran cahaya keemasan. Hanya ditemani sunyi malam dan musik alam. Dia juga menyukai manusia-manusia yang bangun malam untuk menemaninya bertasbih kepada sang pemilik alam.

            Baginya, hal itu menjadi penghibur di antara kegelapan yang menyelimuti. Dia tahu gelap tak selamanya jelek dan menakutkan. Gelaplah yang menjadi selimut agar manusia bisa tertidur pulas dan karena gelaplah semua beristirahat. Gelap memberikan waktu untuk berpikir dan merenung, lalu besoknya akan ada hari baru untuk memulai kehidupan lagi.

            Namun, jika dia diberi sedikit keajaiban. Dia ingin beristirahat sebentar sebagai bulan. Sudah terlalu lama dia menatap bumi dari kejauhan. Dia ingin sekali saja menjejak tanah, tercelup di birunya air, memanjat pasak bumi atau setidaknya, sebentar saja, dia ingin melihat bumi dari jarak dekat.

            Dia tahu manusia mahluk fana, tidak boleh disukai. Manusia bisa membawa kebaikan-kebaikan dan menyembuhkan bumi atau malah manusialah yang membuat bumi semakin sakit di usianya yang sangat tua. Tapi, jika boleh dia menyukai manusia, salah satu yang selalu menarik perhatiannya.

            Manusia satu ini, dia adalah wanita, sering terjaga saat malam, sering menemaninya bertasbih kepada pemilik alam. Wanita itu terkadang keluar ke halaman belakang rumahnya, menengadah ke langit malam penuh bintang, memandangi bulan yang menawan dan gagah di angkasa.

            Wanita itu memandanginya seakan mengajaknya bicara. Bahwa ia butuh tempat untuk mencurahkan rasa yang tersimpan di hatinya. Bahwa bulanlah yang satu-satunya bisa menyimpan rahasianya. Bulan menatapnya balik membalas dengan pendar keemasan memberikan kehangatan di udara malam yang dingin.

            Bulan tahu kesukaannya pada wanita itu akan menjadi sama seperti yang sebelumnya. Bahwa dia akan menyaksikan kepergian wanita itu cepat atau lambat dan bumi akan semakin berat dengan beban yang ditanamkan padanya. Dan bulan akan terus bertengger di gelapnya angkasa.

            Seperti dugaannya, tidak lama setelah itu dia jarang melihat si wanita memandangi langit malam. Mungkin si wanita sudah melupakannya atau menemukan kehangatan di tempat lain. Bulan merasakan kesepian, kehilangan manusia favoritnya.

            Pada sore hari, saat bulan diam-diam menunggangi angkasa di langit biru disepuh putihnya awan. Dia bisa melihat si wanita berjalan di atas bumi dengan bajunya yang hitam-hitam, melingkupi setiap celah badan. Wanita itu mungkin menutupi separuh wajahnya tapi, bulan tetap bisa mengenalinya.

            Pendaran tipis keemasan berusaha menjangkau si wanita agar sebentar saja dia mengalihkah mata cantiknya ke atas sini, bukan menusuk ke bumi saja. Sekilas dan sangat sebentar tapi, cukup bagi bulan untuk merasakan keindahan dari mata si wanita. Dia masih ada, suara keheningan yang hanya dimengerti oleh bulan sendiri.

            Kali ini, bumi digelontorkan air berjuta-juta kubik oleh langit. Menyebabkan sungai-sungai yang mempunyai daya tampung rendah mengalah pada debit air yang begitu banyak. Membiarkan mereka berkeliaran di jalanan, di pemukiman dan dimana pun air itu bisa pergi.

            Sebelah barat, bumi merasa sesak dengan tumpukan-tumpukan lava, terbatuk-terbatuk menahan sakit yang terpendam di bawah tanahnya. Sedikit saja senggolan di bawah kaki pasak gunung, mungkin batuk itu bisa menjadi muntah tak terperikan bagi manusia. Namun, bumi masih bisa menahannya saat ini, hanya untuk saat ini.

            Tanah-tanah lain yang digerogoti sampai ke dalam tak berhingga, tidak diberi penopang, tak ada penguat agar tak meloloskan dari cengkeraman bumi. Tanah-tanah itu terjun bebas, menggelinding berton-ton ke bawah sana, ke tempat lebih rendah. Dimana manusia-manusia bermukim dan beranak pinak. Sekarang, tanah melepaskan diri, tidak mempunyai pilihan untuk tanpa sengaja mengubur manusia-manusia di bawahnya.

            Manusia-manusia baik, manusia-manusia kurang berakal. Bulan tidak menyukai kata-kata jahat karena baginya semua manusia baik tapi, manusia lain membuat mereka tidak berpikir. Dua jenis manusia itu membaur terkubur di tanah merah yang gembur dan lembap.

            Di sisi lain bumi yang tak pernah dikenal oleh manusia di bawah tanah itu, segerombolan manusia berotot besi membawa senjata tiduran di marmer putih yang dibentengi dinding-dinding putih tinggi nan menawan. Tak seharusnya mereka ada di sana, karena itu bukan medan pertempuran. Namun, apadaya manusia-manusia suka saling membunuh satu sama lain, tidak paham bahwa semua itu tidak menguntungkan mereka sama sekali.

            Ruh-ruh manusia berterbangan di angkasa, menembus langit-langit. Bulan akan tersenyum pada ruh-ruh yang memancarkan pendar keemasan dan memberengut pada pendar hitam yang dibawa oleh ruh manusia, dia tidak suka karena pendar itu mengotori langit membuat angkasa semakin gelap. Sedangkan, pendar keemasan membuatnya leluasa memperhatikan sandiwara yang terjadi di lantai bumi. Bulan yakin matahari juga setuju dengan pendapatnya.

            Walau begitu, bulan tetap berharap bisa melihat bumi dari jarak dekat, hanya untuk sekali saja.

            Aku mau mati, kenapa hidupku begitu sulit? suara seorang wanita di bawah sana menembus langit sampai ke bulan. Bulan mencari-cari sumber suara itu, ada apa gerangan? Tatapannya terpaku pada si wanita, maukah kau berganti hidup denganku semalam saja? suara wanita itu lagi dan dalam hitungan detik pemandangan di depannya berubah. Bulan menjejak bumi, dikelilingi bunga-bunga dan dihadapannya danau berair biru terbentang.

            Bulan ada di bumi. Bulan melihat bulan di atas sana. Tetap ada, menggantung gagah di angkasa. Keinginannya terkabul walau dia tak tahu mengapa. Sebentar saja, batinnya berucap, aku ingin menjejak rumput basah lalu tercebur di dinginnya air biru dan menghirup aroma bunga-bunga.

            Tidak ada manusia lain di taman luas ini. Di dalam hening dan gelap misterius yang membungkus, bulan menari-nari bertelanjang kaki merasakan rumput yang basah setelah disiram hujan. Rumput di bawah kakinya menggelitik, geli tapi menakjubkan. Angin malam menyelimuti, ujung-ujung jarinya bagai dibungkus selapis es tapi, dia tak mau mengurangi intensitasnya menari.

            Sampai di putaran terakhir dia berhenti di ujung danau. Langit malam terlihat mempesona dengan bintang-bintang bertengger cantik sesuai formasinya. Bulan bisa merasakan kecemburuan dari para bintang. Selapis kain yang membungkus tubuh manusia itu sudah terjatuh di rumput. Bulan ingin merasakan semua sensasi di seluruh panca inderanya. Tanpa sehelai kain pun.

            Tubuh manusia itu dibawanya perlahan-lahan, satu jengkal mendekati air lalu menjejak dua jengkal lagi maka kakinya sudah terendam. Terasa jarum-jarum es menusuk telapak kakinya. Betisnya bagai di lingkupi balok pendingin lalu menjalar ke pahanya. Namun, bulan tak mengurungkan niatnya untuk berenang di danau.

            Air seakan membawanya dan memandunya ke tengah danau. Bulan menari bersama air, sejuk membalut tubuhnya, tangannya lincah mengayuh makin jauh, kakinya cekatan menendang kesana kemari. Dengan satu tarikan napas, dia menyelam lalu berputar, kakinya terbentang, berputar lagi dan mengibaskan rambut saat muncul di permukaan. Puncak cuping hidungnya memerah, seperti sejumput es ditaruh di sana.

            Tidak berhenti disitu, bulan melanjutkan tarian sakralnya bercinta bersama di dalam danau air biru. Memagut kecupan dari bumi, memeluk dingin dan hangat bergantian. Menciumi aroma bunga yang memenuhi liang penciumannya. Bulan bercinta semalaman dengan bumi, mereguk rakus keindahannya. 

            Saat sinar matahari pertama menyentuh bumi, bulan di dalam tubuh si wanita tertidur pulas di bawah pohon ek merah. Wajahnya damai sekali. Kehangatan yang diberikan oleh matahari membangunkannya. Matanya mengerjap-ngerjap, rerumputan berembun menjejak di pakaiannya. Aku masih di sini, kata hati bulan berkata.

            Derap langkah dari kejauhan membuat bulan waspada. Wajah-wajah tua terlihat kalut dan kebingungan. Bulan mengerti bahasa mereka tapi, tak bisa menjawab karena Pemilik Alam hanya mengajarkan bahasanya sendiri. Siang ini tak ada tarian, tak ada memadu kasih dengan bumi. Dia duduk diam di kamar wanita itu, kamar yang menurut bulan sangat kecil untuk manusia yang bisa berkeliaran bebas di lantai-lantai bumi.

            Aku mau hidupku kembali, suara wanita itu menggema dari langit, aku tidak mau melihat kematian setiap malam.

            Bulan menengadah ke langit. Senyum simpul tercetak di wajah cantik wanita itu.

            Maka, kita akan bertukar tempat, aku akan selalu menonton kalian dari atas sana tapi, kamu akan keluar dari kamar kecil ini, menjaga bumi seperti belahan jiwamu sendiri dan… kamu boleh bercinta sesuka hati dengan bumi yang kusayang, suara bulan menembus awan, menembus langit, didengar matahari dan bintang.

            Malam itu, si wanita menatap bulan tidak dengan amarah atau sedih yang terpendam tapi, dengan kasih dan cinta. Maka, bumi mendapatkan satu manusia lagi yang mencintainya sepenuh hati. Dihari-hari berikutnya, wanita itu meninggalkan kediamannya yang nyaman dan kamarnya yang hangat. Menuju sisi bumi lain dengan membawa ilmu dan kekayaan di tangannya untuk menggenapi cintanya pada bumi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tempat Wisata di Surabaya Kota

 Tahun 2019 segera habis, masa liburan menanti para pekerja. Ibu pertiwi memilki banyak kota yang menarik untuk dikunjungi. Salah satunya adalah kota Surabaya yang terletak di Jawa Timur. Kota yang dikenal sebagai kota pahlawan ini juga menyimpan banyak tempat-tempat indah. Ada banyak tempat wisata di Surabaya kota. Wisatawan bisa memilih untuk berkreasi diluar ruangan, didalam ruangan, yang ramah untuk anak-anak dan lain sebagainya. Selain itu juga Surabaya memiliki kuliner yang sangat menggugah selera. Kota ini bisa dikatakan tempat wisata paket lengkap. Wisatawan bisa memilih untuk berwisata mempelajari sejarah, seni dan budaya, alam dan taman hiburan. Wisata Sejarah Sebagai kota yang menjadi saksi bisu perjuangan kemerdekaan tak heran jika ada banyak peninggalan bersejarah disini. Wisatawan bisa menjadikannya sebagai napak tilas untuk tidak melupakan sejarah kemerdekaan Indonesia. Ada banyak monumen, museum, tugu, patung dan bangunan bersejarah yang bisa didatangi.  ...

Saran bagi Introvert untuk Menguasai Perubahan Zaman

Photo by  Jake Ingle  on  Unsplash Apa yang ada dipikiran kamu jika seseorang disebut sebagai introvert? Apakah yang terngiang adalah si kutu buku dengan kacamatanya, seorang pendiam di sudut kelas atau malah kamu sendiri seorang introvert? Tidak masalah menjadi seorang introvert, karena yah memang itu bawaan dari lahir. Hadiah dari yang Maha Kuasa. Eh tapi, tunggu dulu. Kamu tahu apa artiya introvert? Jangan samakan dengan sosok pemalu. Iya, introvert memang pendiam. Tapi, diamnya dia karena sedang berpikir atau sedang mengumpulkan energi. Loh apa hubungannya? Jadi gini, kita semua tahu lawan dari introvert adalah ekstrovert. Si pendiam dan si aktif. Mudahnya, coba bayangkan kincir angin dan baterai. Menurut Sylvia Loehken , perbandingan menggunakan kiasan di atas menunjukkan perbedaan dengan lebih jelas. Sebuah kincir angin membutuhkan dorongan dari angin (eksternal) lalu kincirnya harus terlibat secara aktif agar terjadi perputaran yang dinamis. Se...

Secangkir Pikiran - Mencoba Bersyukur

Ada tujuh milliar penduduk di bumi. Terlalu banyak masalah yang disediakan, banyak skenario yang telah ada semenjak aku belum lahir. Usiaku sekarang sudah 26 tahun, masih mencari apa maksud hidupku? Untuk apa aku ada di dunia ini?   Di luar sana, jauh dari jangkauan hidupku yang termasuk nyaman. Ada banyak kesedihan. Anak terlantar, kemiskinan, rasisme, kerusakan alam, hilangnya nyawa tak bersalah, matinya para hewan karena rumahnya di ambil oleh yang orang yang tak merasa berdosa dan masih banyak lagi. Banyak sekali kesedihan, dan disini aku hanya mengasihani diri yang sebenarnya sangat beruntung.   Keberuntungan yang tidak kusyukuri. Ada rumah tempat kembali, keluarga yang selalu menyambut dengan suka cita, makan tiga kali sehari beserta camilan, tempat tidur yang nyaman, jam tidur yang panjang dan teman yang baik. Dan aku masih mengeluh tentang pekerjaan? Dangkal sekali pikiranku. Kenapa aku sangat serakah dengan hidup? Maaf...