- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Bulan menggantung di angkasa memancarkan warna keemasan, melingkupi malam itu dengan cahaya lembutnya. Bulan menjadi saksi semua kejadian di bumi. Bulan menyaksikan saat bumi didiami manusia terbaik yang pernah ada di dunia ini. Bulan juga melihat bagaimana kerusakan-kerusakan yang disembunyikan di dalam kegelapan.
Jika dia bisa, dia ingin berhenti menjadi bulan. Dia memang bisa melihat birunya air di samudra-samudra yang tak pernah dijelajah, gunung-gunung berupa warna dan bentuk, kota-kota yang diisi dengan gedung-gedung yang menembus langit atau desa kecil diujung pulau yang diisi rumah-rumah kayu, iya dia bisa melihat semuanya.
Namun, dia juga ingin berhenti melihat darah-darah yang tertumpah lalu meresap ke bumi. Membuat bumi terus merasa kesakitan. Dia melihat bumi terus menerus digerus, dilubangi, memaksa tanah-tanah menyembunyikan tulang belulang
Dia menyukai saat manusia-manusia di bawah sana menikmati pendaran cahaya keemasan. Hanya ditemani sunyi malam dan musik alam. Dia juga menyukai manusia-manusia yang bangun malam untuk menemaninya bertasbih kepada sang pemilik alam.
Baginya,
hal itu menjadi penghibur di antara kegelapan yang menyelimuti. Dia tahu gelap
tak selamanya jelek dan menakutkan. Gelaplah yang menjadi selimut agar manusia
bisa tertidur pulas dan karena gelaplah semua beristirahat. Gelap memberikan
waktu untuk berpikir dan merenung, lalu besoknya akan ada hari baru untuk
memulai kehidupan lagi.
Namun,
jika dia diberi sedikit keajaiban. Dia ingin beristirahat sebentar sebagai
bulan. Sudah terlalu lama dia menatap bumi dari kejauhan. Dia ingin sekali saja
menjejak tanah, tercelup di birunya air, memanjat pasak bumi atau setidaknya,
sebentar saja, dia ingin melihat bumi dari jarak dekat.
Dia
tahu manusia mahluk fana, tidak boleh disukai. Manusia bisa membawa
kebaikan-kebaikan dan menyembuhkan bumi atau malah manusialah yang membuat bumi
semakin sakit di usianya yang sangat tua. Tapi, jika boleh dia menyukai
manusia, salah satu yang selalu menarik perhatiannya.
Manusia
satu ini, dia adalah wanita, sering terjaga saat malam, sering menemaninya
bertasbih kepada pemilik alam. Wanita itu terkadang keluar ke halaman belakang
rumahnya, menengadah ke langit malam penuh bintang, memandangi bulan yang
menawan dan gagah di angkasa.
Wanita
itu memandanginya seakan mengajaknya bicara. Bahwa ia butuh tempat untuk
mencurahkan rasa yang tersimpan di hatinya. Bahwa bulanlah yang satu-satunya
bisa menyimpan rahasianya. Bulan menatapnya balik membalas dengan pendar
keemasan memberikan kehangatan di udara malam yang dingin.
Bulan
tahu kesukaannya pada wanita itu akan menjadi sama seperti yang sebelumnya.
Bahwa dia akan menyaksikan kepergian wanita itu cepat atau lambat dan bumi akan
semakin berat dengan beban yang ditanamkan padanya. Dan bulan akan terus
bertengger di gelapnya angkasa.
Seperti
dugaannya, tidak lama setelah itu dia jarang melihat si wanita memandangi
langit malam. Mungkin si wanita sudah melupakannya atau menemukan kehangatan di
tempat lain. Bulan merasakan kesepian, kehilangan manusia favoritnya.
Pada
sore hari, saat bulan diam-diam menunggangi angkasa di langit biru disepuh
putihnya awan. Dia bisa melihat si wanita berjalan di atas bumi dengan bajunya
yang hitam-hitam, melingkupi setiap celah badan. Wanita itu mungkin menutupi
separuh wajahnya tapi, bulan tetap bisa mengenalinya.
Pendaran
tipis keemasan berusaha menjangkau si wanita agar sebentar saja dia mengalihkah
mata cantiknya ke atas sini, bukan menusuk ke bumi saja. Sekilas dan sangat
sebentar tapi, cukup bagi bulan untuk merasakan keindahan dari mata si wanita.
Dia masih ada, suara keheningan yang hanya dimengerti oleh bulan sendiri.
Kali
ini, bumi digelontorkan air berjuta-juta kubik oleh langit. Menyebabkan
sungai-sungai yang mempunyai daya tampung rendah mengalah pada debit air yang
begitu banyak. Membiarkan mereka berkeliaran di jalanan, di pemukiman dan
dimana pun air itu bisa pergi.
Sebelah
barat, bumi merasa sesak dengan tumpukan-tumpukan lava, terbatuk-terbatuk
menahan sakit yang terpendam di bawah tanahnya. Sedikit saja senggolan di bawah
kaki pasak gunung, mungkin batuk itu bisa menjadi muntah tak terperikan bagi
manusia. Namun, bumi masih bisa menahannya saat ini, hanya untuk saat ini.
Tanah-tanah
lain yang digerogoti sampai ke dalam tak berhingga, tidak diberi penopang, tak
ada penguat agar tak meloloskan dari cengkeraman bumi. Tanah-tanah itu terjun
bebas, menggelinding berton-ton ke bawah sana, ke tempat lebih rendah. Dimana
manusia-manusia bermukim dan beranak pinak. Sekarang, tanah melepaskan diri,
tidak mempunyai pilihan untuk tanpa sengaja mengubur manusia-manusia di
bawahnya.
Manusia-manusia
baik, manusia-manusia kurang berakal. Bulan tidak menyukai kata-kata jahat
karena baginya semua manusia baik tapi, manusia lain membuat mereka tidak
berpikir. Dua jenis manusia itu membaur terkubur di tanah merah yang gembur dan
lembap.
Di
sisi lain bumi yang tak pernah dikenal oleh manusia di bawah tanah itu,
segerombolan manusia berotot besi membawa senjata tiduran di marmer putih yang
dibentengi dinding-dinding putih tinggi nan menawan. Tak seharusnya mereka ada
di sana, karena itu bukan medan pertempuran. Namun, apadaya manusia-manusia
suka saling membunuh satu sama lain, tidak paham bahwa semua itu tidak
menguntungkan mereka sama sekali.
Ruh-ruh
manusia berterbangan di angkasa, menembus langit-langit. Bulan akan tersenyum
pada ruh-ruh yang memancarkan pendar keemasan dan memberengut pada pendar hitam
yang dibawa oleh ruh manusia, dia tidak suka karena pendar itu mengotori langit
membuat angkasa semakin gelap. Sedangkan, pendar keemasan membuatnya leluasa
memperhatikan sandiwara yang terjadi di lantai bumi. Bulan yakin matahari juga
setuju dengan pendapatnya.
Walau
begitu, bulan tetap berharap bisa melihat bumi dari jarak dekat, hanya untuk
sekali saja.
Aku mau mati, kenapa hidupku begitu sulit?
suara seorang wanita di bawah sana menembus langit sampai ke bulan. Bulan
mencari-cari sumber suara itu, ada apa gerangan? Tatapannya terpaku pada si
wanita, maukah kau berganti hidup
denganku semalam saja? suara wanita itu lagi dan dalam hitungan detik
pemandangan di depannya berubah. Bulan menjejak bumi, dikelilingi bunga-bunga
dan dihadapannya danau berair biru terbentang.
Bulan
ada di bumi. Bulan melihat bulan di atas sana. Tetap ada, menggantung gagah di
angkasa. Keinginannya terkabul walau dia tak tahu mengapa. Sebentar saja,
batinnya berucap, aku ingin menjejak rumput basah lalu tercebur di dinginnya
air biru dan menghirup aroma bunga-bunga.
Tidak
ada manusia lain di taman luas ini. Di dalam hening dan gelap misterius yang
membungkus, bulan menari-nari bertelanjang kaki merasakan rumput yang basah
setelah disiram hujan. Rumput di bawah kakinya menggelitik, geli tapi
menakjubkan. Angin malam menyelimuti, ujung-ujung jarinya bagai dibungkus
selapis es tapi, dia tak mau mengurangi intensitasnya menari.
Sampai
di putaran terakhir dia berhenti di ujung danau. Langit malam terlihat
mempesona dengan bintang-bintang bertengger cantik sesuai formasinya. Bulan
bisa merasakan kecemburuan dari para bintang. Selapis kain yang membungkus
tubuh manusia itu sudah terjatuh di rumput. Bulan ingin merasakan semua sensasi
di seluruh panca inderanya. Tanpa sehelai kain pun.
Tubuh
manusia itu dibawanya perlahan-lahan, satu jengkal mendekati air lalu menjejak
dua jengkal lagi maka kakinya sudah terendam. Terasa jarum-jarum es menusuk
telapak kakinya. Betisnya bagai di lingkupi balok pendingin lalu menjalar ke
pahanya. Namun, bulan tak mengurungkan niatnya untuk berenang di danau.
Air
seakan membawanya dan memandunya ke tengah danau. Bulan menari bersama air,
sejuk membalut tubuhnya, tangannya lincah mengayuh makin jauh, kakinya cekatan
menendang kesana kemari. Dengan satu tarikan napas, dia menyelam lalu berputar,
kakinya terbentang, berputar lagi dan mengibaskan rambut saat muncul di
permukaan. Puncak cuping hidungnya memerah, seperti sejumput es ditaruh di
sana.
Tidak
berhenti disitu, bulan melanjutkan tarian sakralnya bercinta bersama di dalam
danau air biru. Memagut kecupan dari bumi, memeluk dingin dan hangat
bergantian. Menciumi aroma bunga yang memenuhi liang penciumannya. Bulan
bercinta semalaman dengan bumi, mereguk rakus keindahannya.
Saat
sinar matahari pertama menyentuh bumi, bulan di dalam tubuh si wanita tertidur
pulas di bawah pohon ek merah. Wajahnya damai sekali. Kehangatan yang diberikan
oleh matahari membangunkannya. Matanya mengerjap-ngerjap, rerumputan berembun
menjejak di pakaiannya. Aku masih di sini, kata hati bulan berkata.
Derap
langkah dari kejauhan membuat bulan waspada. Wajah-wajah tua terlihat kalut dan
kebingungan. Bulan mengerti bahasa mereka tapi, tak bisa menjawab karena
Pemilik Alam hanya mengajarkan bahasanya sendiri. Siang ini tak ada tarian, tak
ada memadu kasih dengan bumi. Dia duduk diam di kamar wanita itu, kamar yang
menurut bulan sangat kecil untuk manusia yang bisa berkeliaran bebas di
lantai-lantai bumi.
Aku mau hidupku kembali, suara wanita itu menggema dari langit, aku tidak mau melihat kematian setiap malam.
Bulan
menengadah ke langit. Senyum simpul tercetak di wajah cantik wanita itu.
Maka, kita akan
bertukar tempat, aku akan selalu menonton kalian dari atas sana tapi, kamu akan
keluar dari kamar kecil ini, menjaga bumi seperti belahan jiwamu sendiri dan…
kamu boleh bercinta sesuka hati dengan bumi yang kusayang, suara bulan menembus awan, menembus langit, didengar matahari dan
bintang.
Malam
itu, si wanita menatap bulan tidak dengan amarah atau sedih yang terpendam
tapi, dengan kasih dan cinta. Maka, bumi mendapatkan satu manusia lagi yang
mencintainya sepenuh hati. Dihari-hari berikutnya, wanita itu meninggalkan
kediamannya yang nyaman dan kamarnya yang hangat. Menuju sisi bumi lain dengan
membawa ilmu dan kekayaan di tangannya untuk menggenapi cintanya pada bumi.
Komentar
Posting Komentar