- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Hiruk pikuk suara memenuhi udara tak
berbatas. Puluhan manusia mengalir lancar di jalanan bawah sana. Kepala-kepala
bermacam rupa mengisi pemandangan mataku. Ah,
karena perayaan 17-an lapangan ini jadi ramai sekali, kupercepat langkah
menghindar dari semua suara yang memekakkan telinga.
“Baru
sampai, Wah?” sapa suara perempuan, teman keciku, Violita. Aku menjawab dengan
wajah masam, “Sudah dibilang panggil Yuni, jangan Wah…”.
“Loh
kan itu memang namamu, WAH-yuni!” bukan dengan perkataan. Aku membalasnya
dengan lemparan bantal sofa tepat dimuka, kami terkekeh bersama. “Nanti sore
kita kesana yuk, kayaknya asyik deh!”, ajak Violita ke perayaan 17-an.
Sebenarnya aku enggan, harus nyemplung ditengah-tengah
keramaian yang bisa kami lihat dari balkon sekarang. Desahan nafas berat keluar
begitu saja, jika aku tak suka sesuatu. “Ayolah, kapan lagi mau senang-senang?
Lupain dulu sebentar tentang penelitian? hem?” rayunya dengan senyum mata yang
dibuat-buat. Tak tega melihatnya seperti itu terus maka, “Oke, hanya untuk sore
ini”.
Sudah
setengah jam, aku berkeliling mencoba segala macam jajanan di perayaan ini.
Violita masih belum kelihatan juga, itu
anak kemana sih? aku menerobos aliran manusia dengan susah payah. Bukannya
keluar, aku malah terdampar di ujung gedung tempat kami semasa kecil biasa
bermain. Perlahan aku dekati, pintu tua itu berderit saat aku coba membukanya.
Semua orang sedang sibuk menonton perlombaan atau makan semua yang dijajakan.
Secepat kucing menangkap mangsa, aku telah berada didalam.
Hidungku
dipenuhi aroma debu, pengap dan bau benda antik. Sudah lama sekali aku tidak
bermain disini. Seingatku terakhir kali,
seharian aku menangis karena dicampakkan oleh teman laki-laki. Usiaku saat itu
18 tahun, tidak ada tempat mengadu. Hanya ada tempat ini, bayangan ayah dan
barang-barang bekas eksperimennya. Seharian kutumpahkan semua kesal, marah dan
malu. Sampai uluran tangan membawaku kembali, Violita. Dia selalu ada untukku,
membantu, memapahku di saat-saat hari tergelap. Sekarang, kemana lagi dia? apa dia lupa temannya berkubang di rombongan
tak dikenal?
Kusampingkan
hilangnya Violita dikerumunan perayaan. Aku tenggelam di kenangan tentang Ayah.
Gedung ini, tempat ayahku dan ayahnya Violita bereksperimen. Ya, mereka Profesor
dan keduanya bersahabat. Hati-hati kupijakkan kaki pada anak tangga, mungkin
saja rapuh. Lantai dua, tempat sebuah masterpiece dari pekerjaan Ayah. Yang
sekarang aku ambil alih, tanpa sepengetahuan siapa pun. Tidak juga Violita.
Masih belum sempurna memang, tinggal sedikit lagi. Jika aku bisa mengukuhkan
penelitian yang sedang aku lakukan sekarang, mungkin aku bisa menyempurnakan
penelitian Ayah.
“Time
Travel Machine” ucapku samar.
Sebuah benda tertutupi kain hitam di
tengah ruangan. Kusingkap cepat membuat debu-debu berterbangan. Sebuah cincin
bersepuh emas berdiameter kurang lebih 2 meter. “Pembuktian selanjutnya setelah
pengukuhan esok lusa, tunggu sebentar Ayah” ucapku membuat janji pada udara
kosong.
Prangg!!!
suara gemuruh riuh dilapangan mengalihkan pikiran. Segera aku mendekat ke
jendela. Oh tidak! apakah yang aku
lihat benar, gadis yang terjerembap jatuh adalah Violita? Buru-buru aku berlari
ke anak tangga. Sebentar! Violita jatuh
dari ruangan sebelah? jangan-jangan.... kubelokkan kaki, berlari mendobrak
pintu dibalik mesin. Mataku menangkap seseorang, tidak jelas. Tidak, tidak kamu tidak bisa kabur. Kukerahkan semua tenaga untuk menangkapnya,
sampai diujung ruangan, kosong. Hanya ada aku dan… angin. Violita!!
“Violita!
Vio! kamu bisa mendengarku? Vio ini Yuni! bisa lihat? Vio?!”
kugoncang-goncangkan badan ramping itu, berharap ia membalasnya. Darah merembes
keluar dari kepalanya. “Panggil ambulans, tolong, panggil dokter! bawa Vio
kerumah sakit tolong, tolong…” lemas suara ku memohon-mohon. Kugoncangkan
badannya terakhir kali, tidak ada respons. Hatiku hancur, Violita keluargaku
satu-satunya. Hanya tinggal ia seorang. Duniaku remuk. Kugenggam tangannya, aku
tersungkur didada Violita. Berharap ia kasihan dan berniat bernafas kembali.
Tidak, ia tidak bisa kembali. Hatiku pecah seribu, duniaku tidak berbentuk
lagi.
Malamnya,
aku sama sekali tidak bisa tidur dengan nyenyak. Tidak esoknya, lusa bahkan
satu minggu kemudian. Bagaimana bisa aku hidup, sedangkan tidak ada lagi alasan
untuk aku berada di dunia ini. Entah sudah hari keberapa semenjak kematian
Violita. Enggan sekali rasanya bangun dari tempat tidur. Mataku menangkap
cahaya yang menelisik masuk malu-malu dari celah jendela. Sepertinya sudah siang, lagi. Kupaksa badan berangkat menuju
wastafel. Bayangan kabur wajahku terlihat di cermin, kuyu. Seringaian tak
bertenaga hasil frustasi membuatku seperti ayam tidak bertaji. Setelahnya, aku
terduduk menatap semua blue print penelitianku
atau kami.
Kumainkan
ring silver, berputar-putar dijemariku. Seperti putaran gasing, makin cepat,
makin hilang. “Time Travel Machine!” sentakku, cepat kurenggut jaket menerobos
angin panas. Kaki kuajak menerjang debu, menuju laboratorium. Jika aku menyatukan penelitianku sebelumnya,
dengan mesin Ayah, mungkin mesinnya bisa berfungsi, aku bisa kembali ke
perayaan, Violita tidak mungkin mati! suara-suara memenuhi pikiranku,
rancangan-rancangan menyempurnakan mesin. Sampai pada titik menemukan ilham,
aku sudah siap dengan seperangkat alat yang kubawa dari laboratorium ke gedung
tempat mesin waktu berada.
Tidak
kuhiraukan bau pengap dan antik. Tidak, sampai aku berhasil membuat mesin ini
terbangun. Bulir-bulir keringat menetes, mengalir mulus dari wajah ke leher. Sebuah
ring,baut, program dan menyatukan semuanya. Dan… klik! mesinnya terbangun,
putaran intens udara pada ring seperti menyesap hawa ruangan. Violita, tunggu sebentar! Aku berlari
menabrak angin dan puff!
Tubuhku serasa
rontok, argh. Pandanganku gelap, atau
tidak ada cahaya diruangan ini? Aku bangun dengan patah-patah. Dimana ini? kuseret kaki yang masih
lemas. Kain hitam didepan mata, aku sibakkan pelan. Nafasku terhenti. Itu ayah!
Ayah dan Paman Su, mereka hidup! hampir
aku terlonjak ingin melompat kedepan mereka. Namun, aku sadar, mereka tidak
boleh melihatku. Aku tidak bisa merusak sejarah. Atau mungkin bisa?
Kuperhatikan
mereka bagai singa mengintai mangsa. Hening namun sigap. Oh, ayah betapa aku
ingin sekali melihatmu lagi. Kujelajahi setiap sudut ruangan, mencari tahu
tahun berapa sekarang. Tidak butuh waktu lama untuk menemukan jawabannya. Gadis
kecil berkepang dua melabrak ayah, melompat ke punggungnya dengan ceria. Itu
aku. Di meja terletak kue merah jambu dengan lilin-lilin kecil menyala indah.
Hari ini, ulang tahunku yang ke sepuluh.
“Ini
untuk Tuan Putri, kue manis semanis yang berulang tahun!” Paman Su menyodorkan
kuenya. Gadis kecil itu tersenyum sangat lebar sampai-sampai semua giginya
terlihat. “Terimakasih” ucapnya malu-malu. Mataku berlinang, ingin aku
bergabung dengan mereka, merasakan pelukan ayah. Oh, bodoh, gadis kecil itu
sama sekali tak menyentuh kuenya, ia malah berlari keluar dengan kado pemberian
ayah, “Aku mau bukanya bareng Vio!” ucapnya sumringah.
“Maaf…
soal kuenya padahal kamu sudah susah payah membuatnya, nanti kita makan
sama-sama…” ucap ayah ke Paman Su sambil menepuk pundaknya. Ayah pergi keluar
menyusul gadis kecil.
Hanya
ada aku dan Paman Su di ruangan itu. Aku diam bergeming. Hanya bisa
memperhatikan semua gerak-gerik Paman Su. Oh tidak, kenapa ia mendekat kemari?
Paman Su mendekati kain hitam, aku segera mundur, berlari tanpa suara ke
belakang rak-rak buku. Tepat ketika kain disibak sempurna, aku menghilang
dibalik tumpukan-tumpukan buku. Udaranya berubah tegang, seharusnya aku tidak
disini.
“Seharusnya
aku tidak disini…” hah? pandangaku menatap Paman Su intens, apa maksud perkataannya?. Tangannya bergerak dari satu rak ke rak
lainnya. Seperti mencari sesuatu. Buku-buku dibukanya kasar, suara kerasak
memenuhi udara. Dan… bang! dia melempar buku tepat di rak tempatku bersembunyi.
Aku terkesiap, terduduk sempurna tanpa tenaga.
“Seharusnya
aku tidak disini! seharusnya aku yang menerima penghargaan sains! bukan Eddy!” berkali-kali
Paman Su melempar buku-buku seperti orang gila. Aku mengintip semua gerak-gerik
dari celah-celah buku, wajahnya merah padam, matanya melotot liar. “Ayah…”
suara gadis kecil, Violita. Gadis kecil itu berdiri di mulut pintu sambil
bergetar. Paman Su menariknya keluar dengan kasar. Cepat aku mengikuti mereka,
menguntit. “Sayang, Vio sayang ayahkan?” gadis kecil mengangguk pelan, “kalau
begitu, bawa ini ke Wahyuni, suruh dia makan ya?” disodorkan kue tadi sambil
mengusap kepala Violita dengan hangat. Gadis kecil itu membawanya, ah kue itu tapi saat itu aku tidak
memakannya, yang memakannya adalah ayah! Paman Su berjalan ke belakang
mesin waktu, dia menyelipkan sesuatu.
Paman
Su keluar dari ruangan lalu menguncinya. Oh tidak, bagaimana ini?
kudorong-dorong bahkan kutarik-tarik pintu tetap bergeming. Aku terjebak.
Kuedarkan pandangan memperhatikan setiap inchi ruangan laboratorium.
“Bagaimana
aku keluar?” kudekati jendela, dibawah sana, dua gadis kecil berlarian. Ayah
dan Paman Su duduk di beranda memperhatikan, menikmati angin senja dan manisnya
kue ulang tahun. Yah, aku hanya bisa
menunggu.
Rasanya
tidurku baru terasa nyenyak saat suara bergemuruh meruntuhkan ratusan buku. Aku
tertimbun diantaranya. Berat sekali, bagai ratusan batu bata dilempari ke
tubuhku. Kudorong buku-buku itu dengan paksa. Argh, aku mengerang kecil. Ayah? Ayah?! bayangan 16 tahun lalu ada
didepan mata. Kecelakaan di laboratorium yang menyebabkan ayah meninggal dan
aku menjadi sebatang kara. Kusibak kasar kain hitam itu, Ayah tergeletak disana
tanpa daya. Tidak perduli dengan runtuhan gedung dan patahan mesin, kulompati,
kulewati. Ayah disana, terengah-engah.
“Ayah?
ayah? bisa lihat aku?” kutangkupkan tangan ke wajahnya. Matanya menangkap
wajahku, bingung tersirat jelas disana. “Kamu si-apa?” serak putus-putus ayah
bertanya.
“Ini
aku, Wahyuni, aku berhasil, mesin waktunya berhasil!” ucapku senang bercampur
sedih. “Benarkah?” tangannya mencari-cari, mengulurkan sesuatu. “Ambil chip ini,
seharusnya tidak ada disini, ada orang yang menanamnya, cari tahu siapa
orangnya?” lumuran darah berpindah ketanganku, amis. “Ayah, ayo pergi, ayah
bisa diselamatkan…” kuangkat badan Ayah, namun ia menolak. “Tidak sayang,
tidak, waktu bukan untuk dipermainkan, ayah senang bisa melihatmu tumbuh
dewasa, arghh…” darah segar muncrat mengotori baju, “Kamu tahu, ayah selalu
menyayangi mu” tenaga di tangan ayah luruh, meninggalkan sisa hangat di wajah.
Duniaku remuk lagi.
Suara
derap kaki menuju ke tempat kejadian. Aku harus menyingkir. Secepat kilat aku
bersembunyi di balik reruntuhan. Mereka yang datang adalah kolega-kolega Ayah
dan Paman Su. Tangisan dan jeritan memenuhi ruangan itu, fokusku pada Paman Su.
Ia juga menangis. Saat semua keluar memapah tubuh lemas ayah, tinggal Paman Su
sendirian. Diusapnya wajah itu, penuh bekas air mata. “Selamat tinggal, Eddy.
Penghargaan selanjutnya menjadi milikku!” aku tidak mempercayai apa yang
kudengar, dengusan kasar penuh kemenangan. Paman Su melempar sesuatu, tanpa
sadar mengarah padaku. Sebuah kaset rekaman. Kugapai pelan dengan gemetar. Tidak, tidak mungkin Paman Su yang
melakukannya. Ia sangat baik padaku, bahkan ia mengangkatku sebagai anak. Emosiku
tak terkendali, dadaku naik turun menahan air mata yang keluar deras tanpa
penjagaan. Aku harus pergi, aku harus kembali.
Tubuhku
serasa rontok tapi aku tidak memperdulikannya. Buru-buru aku bangun,
mencari-cari kotak untuk mengetahui isi kaset rekaman. Kubuka kotak-kotak itu
dengan kasar, tidak sabaran. Ketika kutemukan lansung kusetel, mata kamera
memutar kejadian-kejadian tersembunyi.
“Lihat ini, Su. Kalau
kita berhasil menyatukan semua kepingan, kita akan berhasil…” potongan gambar
menunjukkan kepingan-kepingan logam emas. Lalu berganti, ayah tertawa lebar
“kita berhasil! kita berhasil!” mereka berpelukan. “Kamu tidak apa-apa, Ed?”
tiba-tiba Ayah muntah-muntah, “Kamu yakin besok tetap melakukan launching?” Ayah menggenggam meja kuat-kuat,
“Harus, kita harus melakukannya, apapun yang terjadi” ayah berlalu mendekati
mesin waktu. “Apapun yang terjadi, kan Ed?” samar Paman Su bermonolog
mengerikan, layar menunjukkan kue ulang tahun. Mungkinkah? Suara buku dilempar berulang kali terdengar di
kegelapan layar, “Sayang, Vio sayang ayahkan?” gambar
buram menunjukkan gadis kecil mengangguk pelan, “kalau begitu, bawa ini ke
Wahyuni, suruh dia makan ya?” mata kamera bergerak hanya berfokus pada lantai
lalu terangkat. Paman Su memasukkan chip pada mesin yang ayah buat, sebuah
simbol violet terukir disana. Simbol yang sama dengan chip yang Ayah kasih.
“Selamat tinggal, Ed. Sayang sebenarnya menghancurkan semua ini tapi, tidak
masalah aku bisa membangunnya lagi dengan semua kepingan ini…” sebuah lingkaran
emas terbagi tujuh diusapnya dengan lembut. Berganti lagi, ayah ada ditengah
ruangan laboratorium seperti mengotak-atik sesuatu. Saat mesinnya hidup, serta
merta ledakan dahsyat terjadi. Hitam, hitam hanya hitam.
“Paman Su, yang
melakukannya, ia merencanakan semua itu, tapi… kenapa?” tenagaku bagai dihisap
gravitasi, lemas. Lalu kenapa ia mengangkatku sebagai anak? dan mesinnya? Seingatku,
Paman Su tidak berhasil menghidupkannya, bukankah dia bisa berhasil dengan
semua kepingan yang ada? Air mata deras menerobos tidak kuperdulikan. Aku tidak
bisa mempercayai apa yang barusan aku lihat.
Mataku
terbelalak mengingat seharusnya aku ke perayaan 17-an, menyelamatkan Violita. Kupaksa
tubuhku berdiri, berlari menembus angin dan menghilang ditengah-tengah ring.
Sudah yang ketiga kalinya, aku sudah kebal dari efek mesin waktu ini.
Kali ini, aku langsung
mengenali ruangan ini. Kamarku. Kalender di meja menunjukkan tanggal 17 Agustus
2025, hari kejadian. Udara lenggang, tidak ada siapapun dirumah, seharusnya. Suara
langkah kaki mengejutkanku, membuatku buru-buru menguping.
“Dia baru pulang jam
tigaan, tinggal sedikit lagi persiapannya” suara Violita.
“Bagaimana kalau dia
menolak? Yuni kurang suka tempat keramaian…” suara laki-laki yang rasanya
familiar. Siapa dia?
“Sepertinya kamu masih
suka dengannya, Say. Kamu masih hapal kebiasaan Wah…” Violita membuat suaranya
lebih manja.
“Tidak, bukan begitu
hanya saja… kamu tahu sendirikan dia penyendiri. Bagaimana membujuknya untuk
keluar?”
“Soal itu, aku bisa
membujuknya” derap langkah kaki menjauh, suara pintu tertutup. Aku bergegas ke
jendela demi melihat siapa laki-laki itu. Aku terkesiap, dia laki-laki yang
mencampakanku. Bagaimana mungkin dia bisa bersama Violita selama ini? Bagaimana
mungkin aku tidak tahu? Entah dapat insting darimana, aku menuju kamar Violita.
Pasti ada sesuatu di kamarnya. Kuperiksa satu persatu, laci, lemari, meja
belajar. Sampai mataku tertumbuk pada notebook
yang tergeletak begitu saja. Aliran nafas mulai berpacu, takut kalau-kalau
mereka kembali. Sekali saja kumasukkan kata sandi, notebooknya terbuka. Kucari-cari pada setiap folder. Sampai satu
nama folder membuatku penasaran Festival
Merah untuk Wah.
“Astaga…” hanya kata
itu yang bisa keluar, selama ini mereka menipuku. Tentang semua hal. Tanganku
luruh tak bertenaga, hanya bisa terdiam di pangkuan. Ada sesuatu di kantongku,
satu dari tujuh kepingan emas.
“Karena ini Paman Su
tidak berhasil menghidupkan mesin waktu, Ayah menyelipkannya saat itu!”Api
membara di mataku, aku bergegas menuju gedung tempatku dulu biasa bermain.
Ruangan tak bernama disebelah mesin waktu. Menunggu si pembuat rencana dengan sabar. Agar dia
merasakan festival merah yang ia rencanakan.
“Ini
festival merah untukku, Violita?” tanpa bunyi aku keluar dari bayangan, membuat
Violita terpaku.
“Wah…
kamu bisa ada disini? apa yang…” putus-putus ia menjawab.
“Semua
ini, festival merah ini, untukku Vio?” tanyaku lagi tanpa emosi. Violita
membelalak, auranya berubah. Ia dilingkupi kemarahan yang sangat terlihat jelas
sekarang.
“Entah
bagaimana kamu tahu Wah. Tapi, memang benar”dia mendengus sombong, hal yang
sangat kubenci.
“Kenapa?
kenapa Vio?!”, aku merangsek maju mencengkeram kerah bajunya, “Kenapa kalian
tega melakukannya? Ayahmu dan kamu sendiri Vio… menipuku? Kenapa kalian
membunuh ayahku? membuatku dicampakkan? menghalangiku untuk mendapatkan gelar?!”
kuat sekali aku mengenggamnya.
“Karena
aku lelah dibandingkan denganmu! aku lelah harus berada dibawah bayangmu! asal
kamu tahu, selama ini kamu ada dibawah kendaliku, WAH-yuni!” ucapnya
menyebalkan. Geram sekali aku melihatnya, mengingat ayahnya, mengingat ayahku.
Sejurus kemudian, tonjokanku mendarat kasar diwajah mulusnya.
“Selama ini, aku
menganggap kalian keluarga. Aku membantu, menjaga nama baik keluarga Suhartono!
Membantumu dalam setiap masalah, memberikan semua penelitianku!”teriakku
frustasi.
“Karena aku tidak mau
ada dibawahmu, sekalipun harus dengan cara seperti ini…” udara sangat intens,
hawa tegang memenuhi ruangan. Aku benci Violita!! Kutubrukkan badanku, membuatnya
terbang menghamburkan kaca jendela tua itu.
Violita terjerembap jatuh. Merasakan festival merah yang ia rencanakan
sendiri.
“Kamu berhasil, Vio.
Menunda pengukuhan gelar professor tapi, aku berhasil menyempurnakan penelitian
Ayah dengan atau tanpa kepingan terakhir…” angin sore itu membawa udara amis
bekas darah. Aku melihat iring-iringan mobil ambulans. Aku melihat diriku
menangisi seorang pengkhianat.
“Apa yang harus aku
lakukan sekarang?” tidak ada lagi yang tersisa, aku benar-benar sendirian sekarang.
Komentar
Posting Komentar