Langsung ke konten utama

Fakta Penting Dunia yang Mengubah Perspektif Kita

Keping Terakhir -Festival Merah untuk Violita-


Hiruk pikuk suara memenuhi udara tak berbatas. Puluhan manusia mengalir lancar di jalanan bawah sana. Kepala-kepala bermacam rupa mengisi pemandangan mataku. Ah, karena perayaan 17-an lapangan ini jadi ramai sekali, kupercepat langkah menghindar dari semua suara yang memekakkan telinga.
            “Baru sampai, Wah?” sapa suara perempuan, teman keciku, Violita. Aku menjawab dengan wajah masam, “Sudah dibilang panggil Yuni, jangan Wah…”.
            “Loh kan itu memang namamu, WAH-yuni!” bukan dengan perkataan. Aku membalasnya dengan lemparan bantal sofa tepat dimuka, kami terkekeh bersama. “Nanti sore kita kesana yuk, kayaknya asyik deh!”, ajak Violita ke perayaan 17-an. Sebenarnya aku enggan, harus nyemplung ditengah-tengah keramaian yang bisa kami lihat dari balkon sekarang. Desahan nafas berat keluar begitu saja, jika aku tak suka sesuatu. “Ayolah, kapan lagi mau senang-senang? Lupain dulu sebentar tentang penelitian? hem?” rayunya dengan senyum mata yang dibuat-buat. Tak tega melihatnya seperti itu terus maka, “Oke, hanya untuk sore ini”. 
            Sudah setengah jam, aku berkeliling mencoba segala macam jajanan di perayaan ini. Violita masih belum kelihatan juga, itu anak kemana sih? aku menerobos aliran manusia dengan susah payah. Bukannya keluar, aku malah terdampar di ujung gedung tempat kami semasa kecil biasa bermain. Perlahan aku dekati, pintu tua itu berderit saat aku coba membukanya. Semua orang sedang sibuk menonton perlombaan atau makan semua yang dijajakan. Secepat kucing menangkap mangsa, aku telah berada didalam.
            Hidungku dipenuhi aroma debu, pengap dan bau benda antik. Sudah lama sekali aku tidak bermain disini. Seingatku terakhir kali, seharian aku menangis karena dicampakkan oleh teman laki-laki. Usiaku saat itu 18 tahun, tidak ada tempat mengadu. Hanya ada tempat ini, bayangan ayah dan barang-barang bekas eksperimennya. Seharian kutumpahkan semua kesal, marah dan malu. Sampai uluran tangan membawaku kembali, Violita. Dia selalu ada untukku, membantu, memapahku di saat-saat hari tergelap. Sekarang, kemana lagi dia? apa dia lupa temannya berkubang di rombongan tak dikenal?
            Kusampingkan hilangnya Violita dikerumunan perayaan. Aku tenggelam di kenangan tentang Ayah. Gedung ini, tempat ayahku dan ayahnya Violita bereksperimen. Ya, mereka Profesor dan keduanya bersahabat. Hati-hati kupijakkan kaki pada anak tangga, mungkin saja rapuh. Lantai dua, tempat sebuah masterpiece dari pekerjaan Ayah. Yang sekarang aku ambil alih, tanpa sepengetahuan siapa pun. Tidak juga Violita. Masih belum sempurna memang, tinggal sedikit lagi. Jika aku bisa mengukuhkan penelitian yang sedang aku lakukan sekarang, mungkin aku bisa menyempurnakan penelitian Ayah.
            “Time Travel Machine” ucapku samar.
            Sebuah benda tertutupi kain hitam di tengah ruangan. Kusingkap cepat membuat debu-debu berterbangan. Sebuah cincin bersepuh emas berdiameter kurang lebih 2 meter. “Pembuktian selanjutnya setelah pengukuhan esok lusa, tunggu sebentar Ayah” ucapku membuat janji pada udara kosong.
            Prangg!!! suara gemuruh riuh dilapangan mengalihkan pikiran. Segera aku mendekat ke jendela. Oh tidak! apakah yang aku lihat benar, gadis yang terjerembap jatuh adalah Violita? Buru-buru aku berlari ke anak tangga. Sebentar! Violita jatuh dari ruangan sebelah? jangan-jangan.... kubelokkan kaki, berlari mendobrak pintu dibalik mesin. Mataku menangkap seseorang, tidak jelas. Tidak, tidak kamu tidak bisa kabur.  Kukerahkan semua tenaga untuk menangkapnya, sampai diujung ruangan, kosong. Hanya ada aku dan… angin. Violita!!
            “Violita! Vio! kamu bisa mendengarku? Vio ini Yuni! bisa lihat? Vio?!” kugoncang-goncangkan badan ramping itu, berharap ia membalasnya. Darah merembes keluar dari kepalanya. “Panggil ambulans, tolong, panggil dokter! bawa Vio kerumah sakit tolong, tolong…” lemas suara ku memohon-mohon. Kugoncangkan badannya terakhir kali, tidak ada respons. Hatiku hancur, Violita keluargaku satu-satunya. Hanya tinggal ia seorang. Duniaku remuk. Kugenggam tangannya, aku tersungkur didada Violita. Berharap ia kasihan dan berniat bernafas kembali. Tidak, ia tidak bisa kembali. Hatiku pecah seribu, duniaku tidak berbentuk lagi.
            Malamnya, aku sama sekali tidak bisa tidur dengan nyenyak. Tidak esoknya, lusa bahkan satu minggu kemudian. Bagaimana bisa aku hidup, sedangkan tidak ada lagi alasan untuk aku berada di dunia ini. Entah sudah hari keberapa semenjak kematian Violita. Enggan sekali rasanya bangun dari tempat tidur. Mataku menangkap cahaya yang menelisik masuk malu-malu dari celah jendela. Sepertinya sudah siang, lagi. Kupaksa badan berangkat menuju wastafel. Bayangan kabur wajahku terlihat di cermin, kuyu. Seringaian tak bertenaga hasil frustasi membuatku seperti ayam tidak bertaji. Setelahnya, aku terduduk menatap semua blue print penelitianku atau kami.
            Kumainkan ring silver, berputar-putar dijemariku. Seperti putaran gasing, makin cepat, makin hilang. “Time Travel Machine!” sentakku, cepat kurenggut jaket menerobos angin panas. Kaki kuajak menerjang debu, menuju laboratorium. Jika aku menyatukan penelitianku sebelumnya, dengan mesin Ayah, mungkin mesinnya bisa berfungsi, aku bisa kembali ke perayaan, Violita tidak mungkin mati! suara-suara memenuhi pikiranku, rancangan-rancangan menyempurnakan mesin. Sampai pada titik menemukan ilham, aku sudah siap dengan seperangkat alat yang kubawa dari laboratorium ke gedung tempat mesin waktu berada.
            Tidak kuhiraukan bau pengap dan antik. Tidak, sampai aku berhasil membuat mesin ini terbangun. Bulir-bulir keringat menetes, mengalir mulus dari wajah ke leher. Sebuah ring,baut, program dan menyatukan semuanya. Dan… klik! mesinnya terbangun, putaran intens udara pada ring seperti menyesap hawa ruangan. Violita, tunggu sebentar! Aku berlari menabrak angin dan puff!
            Tubuhku serasa rontok, argh. Pandanganku gelap, atau tidak ada cahaya diruangan ini? Aku bangun dengan patah-patah. Dimana ini? kuseret kaki yang masih lemas. Kain hitam didepan mata, aku sibakkan pelan. Nafasku terhenti. Itu ayah! Ayah dan Paman Su, mereka hidup! hampir aku terlonjak ingin melompat kedepan mereka. Namun, aku sadar, mereka tidak boleh melihatku. Aku tidak bisa merusak sejarah. Atau mungkin bisa?
            Kuperhatikan mereka bagai singa mengintai mangsa. Hening namun sigap. Oh, ayah betapa aku ingin sekali melihatmu lagi. Kujelajahi setiap sudut ruangan, mencari tahu tahun berapa sekarang. Tidak butuh waktu lama untuk menemukan jawabannya. Gadis kecil berkepang dua melabrak ayah, melompat ke punggungnya dengan ceria. Itu aku. Di meja terletak kue merah jambu dengan lilin-lilin kecil menyala indah. Hari ini, ulang tahunku yang ke sepuluh.
            “Ini untuk Tuan Putri, kue manis semanis yang berulang tahun!” Paman Su menyodorkan kuenya. Gadis kecil itu tersenyum sangat lebar sampai-sampai semua giginya terlihat. “Terimakasih” ucapnya malu-malu. Mataku berlinang, ingin aku bergabung dengan mereka, merasakan pelukan ayah. Oh, bodoh, gadis kecil itu sama sekali tak menyentuh kuenya, ia malah berlari keluar dengan kado pemberian ayah, “Aku mau bukanya bareng Vio!” ucapnya sumringah.
            “Maaf… soal kuenya padahal kamu sudah susah payah membuatnya, nanti kita makan sama-sama…” ucap ayah ke Paman Su sambil menepuk pundaknya. Ayah pergi keluar menyusul gadis kecil.
            Hanya ada aku dan Paman Su di ruangan itu. Aku diam bergeming. Hanya bisa memperhatikan semua gerak-gerik Paman Su. Oh tidak, kenapa ia mendekat kemari? Paman Su mendekati kain hitam, aku segera mundur, berlari tanpa suara ke belakang rak-rak buku. Tepat ketika kain disibak sempurna, aku menghilang dibalik tumpukan-tumpukan buku. Udaranya berubah tegang, seharusnya aku tidak disini.
            “Seharusnya aku tidak disini…” hah? pandangaku menatap Paman Su intens, apa maksud perkataannya?.  Tangannya bergerak dari satu rak ke rak lainnya. Seperti mencari sesuatu. Buku-buku dibukanya kasar, suara kerasak memenuhi udara. Dan… bang! dia melempar buku tepat di rak tempatku bersembunyi. Aku terkesiap, terduduk sempurna tanpa tenaga.
            “Seharusnya aku tidak disini! seharusnya aku yang menerima penghargaan sains! bukan Eddy!” berkali-kali Paman Su melempar buku-buku seperti orang gila. Aku mengintip semua gerak-gerik dari celah-celah buku, wajahnya merah padam, matanya melotot liar. “Ayah…” suara gadis kecil, Violita. Gadis kecil itu berdiri di mulut pintu sambil bergetar. Paman Su menariknya keluar dengan kasar. Cepat aku mengikuti mereka, menguntit. “Sayang, Vio sayang ayahkan?” gadis kecil mengangguk pelan, “kalau begitu, bawa ini ke Wahyuni, suruh dia makan ya?” disodorkan kue tadi sambil mengusap kepala Violita dengan hangat. Gadis kecil itu membawanya, ah kue itu tapi saat itu aku tidak memakannya, yang memakannya adalah ayah! Paman Su berjalan ke belakang mesin waktu, dia menyelipkan sesuatu.
            Paman Su keluar dari ruangan lalu menguncinya. Oh tidak, bagaimana ini? kudorong-dorong bahkan kutarik-tarik pintu tetap bergeming. Aku terjebak. Kuedarkan pandangan memperhatikan setiap inchi ruangan laboratorium.
            “Bagaimana aku keluar?” kudekati jendela, dibawah sana, dua gadis kecil berlarian. Ayah dan Paman Su duduk di beranda memperhatikan, menikmati angin senja dan manisnya kue ulang tahun. Yah, aku hanya bisa menunggu.
            Rasanya tidurku baru terasa nyenyak saat suara bergemuruh meruntuhkan ratusan buku. Aku tertimbun diantaranya. Berat sekali, bagai ratusan batu bata dilempari ke tubuhku. Kudorong buku-buku itu dengan paksa. Argh, aku mengerang kecil. Ayah? Ayah?! bayangan 16 tahun lalu ada didepan mata. Kecelakaan di laboratorium yang menyebabkan ayah meninggal dan aku menjadi sebatang kara. Kusibak kasar kain hitam itu, Ayah tergeletak disana tanpa daya. Tidak perduli dengan runtuhan gedung dan patahan mesin, kulompati, kulewati. Ayah disana, terengah-engah.
            “Ayah? ayah? bisa lihat aku?” kutangkupkan tangan ke wajahnya. Matanya menangkap wajahku, bingung tersirat jelas disana. “Kamu si-apa?” serak putus-putus ayah bertanya.
            “Ini aku, Wahyuni, aku berhasil, mesin waktunya berhasil!” ucapku senang bercampur sedih. “Benarkah?” tangannya mencari-cari, mengulurkan sesuatu. “Ambil chip ini, seharusnya tidak ada disini, ada orang yang menanamnya, cari tahu siapa orangnya?” lumuran darah berpindah ketanganku, amis. “Ayah, ayo pergi, ayah bisa diselamatkan…” kuangkat badan Ayah, namun ia menolak. “Tidak sayang, tidak, waktu bukan untuk dipermainkan, ayah senang bisa melihatmu tumbuh dewasa, arghh…” darah segar muncrat mengotori baju, “Kamu tahu, ayah selalu menyayangi mu” tenaga di tangan ayah luruh, meninggalkan sisa hangat di wajah. Duniaku remuk lagi.  
            Suara derap kaki menuju ke tempat kejadian. Aku harus menyingkir. Secepat kilat aku bersembunyi di balik reruntuhan. Mereka yang datang adalah kolega-kolega Ayah dan Paman Su. Tangisan dan jeritan memenuhi ruangan itu, fokusku pada Paman Su. Ia juga menangis. Saat semua keluar memapah tubuh lemas ayah, tinggal Paman Su sendirian. Diusapnya wajah itu, penuh bekas air mata. “Selamat tinggal, Eddy. Penghargaan selanjutnya menjadi milikku!” aku tidak mempercayai apa yang kudengar, dengusan kasar penuh kemenangan. Paman Su melempar sesuatu, tanpa sadar mengarah padaku. Sebuah kaset rekaman. Kugapai pelan dengan gemetar. Tidak, tidak mungkin Paman Su yang melakukannya. Ia sangat baik padaku, bahkan ia mengangkatku sebagai anak. Emosiku tak terkendali, dadaku naik turun menahan air mata yang keluar deras tanpa penjagaan. Aku harus pergi, aku harus kembali.
            Tubuhku serasa rontok tapi aku tidak memperdulikannya. Buru-buru aku bangun, mencari-cari kotak untuk mengetahui isi kaset rekaman. Kubuka kotak-kotak itu dengan kasar, tidak sabaran. Ketika kutemukan lansung kusetel, mata kamera memutar kejadian-kejadian tersembunyi.
“Lihat ini, Su. Kalau kita berhasil menyatukan semua kepingan, kita akan berhasil…” potongan gambar menunjukkan kepingan-kepingan logam emas. Lalu berganti, ayah tertawa lebar “kita berhasil! kita berhasil!” mereka berpelukan. “Kamu tidak apa-apa, Ed?” tiba-tiba Ayah muntah-muntah, “Kamu yakin besok tetap melakukan launching?” Ayah menggenggam meja kuat-kuat, “Harus, kita harus melakukannya, apapun yang terjadi” ayah berlalu mendekati mesin waktu. “Apapun yang terjadi, kan Ed?” samar Paman Su bermonolog mengerikan, layar menunjukkan kue ulang tahun. Mungkinkah? Suara buku dilempar berulang kali terdengar di kegelapan layar, “Sayang, Vio sayang ayahkan?” gambar buram menunjukkan gadis kecil mengangguk pelan, “kalau begitu, bawa ini ke Wahyuni, suruh dia makan ya?” mata kamera bergerak hanya berfokus pada lantai lalu terangkat. Paman Su memasukkan chip pada mesin yang ayah buat, sebuah simbol violet terukir disana. Simbol yang sama dengan chip yang Ayah kasih. “Selamat tinggal, Ed. Sayang sebenarnya menghancurkan semua ini tapi, tidak masalah aku bisa membangunnya lagi dengan semua kepingan ini…” sebuah lingkaran emas terbagi tujuh diusapnya dengan lembut. Berganti lagi, ayah ada ditengah ruangan laboratorium seperti mengotak-atik sesuatu. Saat mesinnya hidup, serta merta ledakan dahsyat terjadi. Hitam, hitam hanya hitam.
“Paman Su, yang melakukannya, ia merencanakan semua itu, tapi… kenapa?” tenagaku bagai dihisap gravitasi, lemas. Lalu kenapa ia mengangkatku sebagai anak? dan mesinnya? Seingatku, Paman Su tidak berhasil menghidupkannya, bukankah dia bisa berhasil dengan semua kepingan yang ada? Air mata deras menerobos tidak kuperdulikan. Aku tidak bisa mempercayai apa yang barusan aku lihat.
            Mataku terbelalak mengingat seharusnya aku ke perayaan 17-an, menyelamatkan Violita. Kupaksa tubuhku berdiri, berlari menembus angin dan menghilang ditengah-tengah ring. Sudah yang ketiga kalinya, aku sudah kebal dari efek mesin waktu ini.
Kali ini, aku langsung mengenali ruangan ini. Kamarku. Kalender di meja menunjukkan tanggal 17 Agustus 2025, hari kejadian. Udara lenggang, tidak ada siapapun dirumah, seharusnya. Suara langkah kaki mengejutkanku, membuatku buru-buru menguping.
“Dia baru pulang jam tigaan, tinggal sedikit lagi persiapannya” suara Violita.
“Bagaimana kalau dia menolak? Yuni kurang suka tempat keramaian…” suara laki-laki yang rasanya familiar. Siapa dia?
 “Sepertinya kamu masih suka dengannya, Say. Kamu masih hapal kebiasaan Wah…” Violita membuat suaranya lebih manja.
“Tidak, bukan begitu hanya saja… kamu tahu sendirikan dia penyendiri. Bagaimana membujuknya untuk keluar?”
“Soal itu, aku bisa membujuknya” derap langkah kaki menjauh, suara pintu tertutup. Aku bergegas ke jendela demi melihat siapa laki-laki itu. Aku terkesiap, dia laki-laki yang mencampakanku. Bagaimana mungkin dia bisa bersama Violita selama ini? Bagaimana mungkin aku tidak tahu? Entah dapat insting darimana, aku menuju kamar Violita. Pasti ada sesuatu di kamarnya. Kuperiksa satu persatu, laci, lemari, meja belajar. Sampai mataku tertumbuk pada notebook yang tergeletak begitu saja. Aliran nafas mulai berpacu, takut kalau-kalau mereka kembali. Sekali saja kumasukkan kata sandi, notebooknya terbuka. Kucari-cari pada setiap folder. Sampai satu nama folder membuatku penasaran Festival Merah untuk Wah.
“Astaga…” hanya kata itu yang bisa keluar, selama ini mereka menipuku. Tentang semua hal. Tanganku luruh tak bertenaga, hanya bisa terdiam di pangkuan. Ada sesuatu di kantongku, satu dari tujuh kepingan emas.
“Karena ini Paman Su tidak berhasil menghidupkan mesin waktu, Ayah menyelipkannya saat itu!”Api membara di mataku, aku bergegas menuju gedung tempatku dulu biasa bermain. Ruangan tak bernama disebelah mesin waktu. Menunggu si  pembuat rencana dengan sabar. Agar dia merasakan festival merah yang ia rencanakan.
            “Ini festival merah untukku, Violita?” tanpa bunyi aku keluar dari bayangan, membuat Violita terpaku.
            “Wah… kamu bisa ada disini? apa yang…” putus-putus ia menjawab.
            “Semua ini, festival merah ini, untukku Vio?” tanyaku lagi tanpa emosi. Violita membelalak, auranya berubah. Ia dilingkupi kemarahan yang sangat terlihat jelas sekarang.
            “Entah bagaimana kamu tahu Wah. Tapi, memang benar”dia mendengus sombong, hal yang sangat kubenci.
            “Kenapa? kenapa Vio?!”, aku merangsek maju mencengkeram kerah bajunya, “Kenapa kalian tega melakukannya? Ayahmu dan kamu sendiri Vio… menipuku? Kenapa kalian membunuh ayahku? membuatku dicampakkan? menghalangiku untuk mendapatkan gelar?!” kuat sekali aku mengenggamnya.
            “Karena aku lelah dibandingkan denganmu! aku lelah harus berada dibawah bayangmu! asal kamu tahu, selama ini kamu ada dibawah kendaliku, WAH-yuni!” ucapnya menyebalkan. Geram sekali aku melihatnya, mengingat ayahnya, mengingat ayahku. Sejurus kemudian, tonjokanku mendarat kasar diwajah mulusnya.
“Selama ini, aku menganggap kalian keluarga. Aku membantu, menjaga nama baik keluarga Suhartono! Membantumu dalam setiap masalah, memberikan semua penelitianku!”teriakku frustasi.
“Karena aku tidak mau ada dibawahmu, sekalipun harus dengan cara seperti ini…” udara sangat intens, hawa tegang memenuhi ruangan. Aku benci Violita!! Kutubrukkan badanku, membuatnya terbang menghamburkan kaca jendela tua itu.  Violita terjerembap jatuh. Merasakan festival merah yang ia rencanakan sendiri.
“Kamu berhasil, Vio. Menunda pengukuhan gelar professor tapi, aku berhasil menyempurnakan penelitian Ayah dengan atau tanpa kepingan terakhir…” angin sore itu membawa udara amis bekas darah. Aku melihat iring-iringan mobil ambulans. Aku melihat diriku menangisi seorang pengkhianat.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tidak ada lagi yang tersisa, aku benar-benar sendirian sekarang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tempat Wisata di Surabaya Kota

 Tahun 2019 segera habis, masa liburan menanti para pekerja. Ibu pertiwi memilki banyak kota yang menarik untuk dikunjungi. Salah satunya adalah kota Surabaya yang terletak di Jawa Timur. Kota yang dikenal sebagai kota pahlawan ini juga menyimpan banyak tempat-tempat indah. Ada banyak tempat wisata di Surabaya kota. Wisatawan bisa memilih untuk berkreasi diluar ruangan, didalam ruangan, yang ramah untuk anak-anak dan lain sebagainya. Selain itu juga Surabaya memiliki kuliner yang sangat menggugah selera. Kota ini bisa dikatakan tempat wisata paket lengkap. Wisatawan bisa memilih untuk berwisata mempelajari sejarah, seni dan budaya, alam dan taman hiburan. Wisata Sejarah Sebagai kota yang menjadi saksi bisu perjuangan kemerdekaan tak heran jika ada banyak peninggalan bersejarah disini. Wisatawan bisa menjadikannya sebagai napak tilas untuk tidak melupakan sejarah kemerdekaan Indonesia. Ada banyak monumen, museum, tugu, patung dan bangunan bersejarah yang bisa didatangi.  ...

Saran bagi Introvert untuk Menguasai Perubahan Zaman

Photo by  Jake Ingle  on  Unsplash Apa yang ada dipikiran kamu jika seseorang disebut sebagai introvert? Apakah yang terngiang adalah si kutu buku dengan kacamatanya, seorang pendiam di sudut kelas atau malah kamu sendiri seorang introvert? Tidak masalah menjadi seorang introvert, karena yah memang itu bawaan dari lahir. Hadiah dari yang Maha Kuasa. Eh tapi, tunggu dulu. Kamu tahu apa artiya introvert? Jangan samakan dengan sosok pemalu. Iya, introvert memang pendiam. Tapi, diamnya dia karena sedang berpikir atau sedang mengumpulkan energi. Loh apa hubungannya? Jadi gini, kita semua tahu lawan dari introvert adalah ekstrovert. Si pendiam dan si aktif. Mudahnya, coba bayangkan kincir angin dan baterai. Menurut Sylvia Loehken , perbandingan menggunakan kiasan di atas menunjukkan perbedaan dengan lebih jelas. Sebuah kincir angin membutuhkan dorongan dari angin (eksternal) lalu kincirnya harus terlibat secara aktif agar terjadi perputaran yang dinamis. Se...

Secangkir Pikiran - Mencoba Bersyukur

Ada tujuh milliar penduduk di bumi. Terlalu banyak masalah yang disediakan, banyak skenario yang telah ada semenjak aku belum lahir. Usiaku sekarang sudah 26 tahun, masih mencari apa maksud hidupku? Untuk apa aku ada di dunia ini?   Di luar sana, jauh dari jangkauan hidupku yang termasuk nyaman. Ada banyak kesedihan. Anak terlantar, kemiskinan, rasisme, kerusakan alam, hilangnya nyawa tak bersalah, matinya para hewan karena rumahnya di ambil oleh yang orang yang tak merasa berdosa dan masih banyak lagi. Banyak sekali kesedihan, dan disini aku hanya mengasihani diri yang sebenarnya sangat beruntung.   Keberuntungan yang tidak kusyukuri. Ada rumah tempat kembali, keluarga yang selalu menyambut dengan suka cita, makan tiga kali sehari beserta camilan, tempat tidur yang nyaman, jam tidur yang panjang dan teman yang baik. Dan aku masih mengeluh tentang pekerjaan? Dangkal sekali pikiranku. Kenapa aku sangat serakah dengan hidup? Maaf...